Sel, 05 Nov 2024
Oleh: Wahid Hidayat, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“Assalamualaikum, Pakdhe Sunar,” sapaku ketika memasuki halaman rumah beliau. Ia masih satu kawasan dengan rumah orang tuaku. Pakdhe Sunar masih saudara dari garis Bapak. Aku sering mengunjunginya untuk sekadar mampir ngobrol atau minta kopi ketika aku pulang setiap akhir pekan. “Pakdhe, aku bikin kopi yak,” tambahku.
“Terlihat Pakdhe Sunar dan istrinya, Budhe Sri, sedang di ruang tamu ngobrol santai. Tiba-tiba aku dipanggil bergabung dengan mereka. “Balik dari Temanggung kapan, Hid? Sini ngobrol dulu.”
“Tadi pagi, Budhe. Budhe-Pakdhe gak tamasya? Ini malem Minggu, lho?” godaku sembari duduk ndelosor di lantai karena cuaca bikin gerah.
“Halah, seperti anak muda saja. Kamu saja to, sana sambil ngapel pacarmu”, timpal Budhe, “ini lho Pakdhemu rasan-rasan untuk balik nama sertifikat tanah ladang di Palgede, jadi diatasnamakan Dwi. Mumpung Pakdhe-Budhe masih bugar, sama pas senggang juga.”
Dwi yang dimaksud adalah kakak sepupuku, anak Pakdhe dan Budhe.
“Oh, mau dihibahin ke Mbak Dwi, Budhe? Lha Mbak Dwi sama suaminya masih di Bontang, kan Dhe?” tanyaku.
“Iyo, Mas Eko masih kerja di tambang. Jadi sopir eskavator.” jawab Budhe. “Rencana sih mau pulang pas Lebaran.”
Sembari ngopi bareng, kami bertiga ngobrol ngalor-ngidul. Dari Pakdhe yang habis jual kayu sengon buat beli sapi, hingga Budhe yang dapat arisan dasawisma yang diadakan tiap Rabu sore di balai desa. Pakdhe juga cerita kemarin saat membantu Bapak panen singkong, saat aku sedang kerja di Temanggung.
“Oh ya,” celetuk Pakdhe, “lha itu ada pajaknya nggak, Hid? Ribet nggak ngurusnya?” tanya beliau.
“Sebenarnya hibah tanah dari orang tua ke anak kandung dikecualikan dari pajak penghasilan sih, Dhe. Tapi Budhe-Pakdhe harus mengajukan SKB dulu biar nggak kena pajak. Nggak ribet kok, Dhe,” jawabku.
SKB yang dimaksud adalah surat keterangan bebas dari pajak tertentu. Dalam hal ini adalah SKB atas pajak penghasilan (PPh) hibah tanah dan/atau bangunan.
“Ketentuannya gimana, Hid?”
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/Atau Bangunan (PP 34/2016), bentuk pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (PHTB) yang terutang PPh Final antara lain melalui penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak. Besaran PPh dari PHTB sebagaimana dimaksud adalah sebesar:
2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana atau rumah susun sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana atau rumah susun sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Namun demikian, Pasal 6 huruf (b) PP 34/2016 mengatur bahwa yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemotongan PPh atas PHTB, salah satunya adalah orang pribadi yang melakukan hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat.
Sehingga, walaupun terutang PPh Final, hibah dapat dibebaskan dari pengenaan pajak jika dilakukan dari orang tua kepada anak kandungnya. Atau sebaliknya, dari anak kandung kepada orang tuanya. Syaratnya adalah pemberi hibah mendapatkan SKB Hibah dari kantor pelayanan pajak (KPP).
Ketentuan Pengajuan SKB
PPh yang terutang pada saat PHTB atas hibah dari orang tua (pemberi hibah) ke anak kandung (penerima hibah) dapat dibebaskan apabila pemberi hibah mengajukan permohonan SKB Hibah kepada KPP tempat pemberi hibah tersebut terdaftar. Permohonan SKB tersebut harus dilengkapi dengan salinan bukti kepemilikan tanah dan/atau bangunan, salinan surat pemberitahuan pajak tahunan pajak bumi dan bangunan (SPPT PBB) tahun terakhir, salinan kartu keluarga dan kartu tanda penduduk (KTP) dari pemberi hibah maupun penerima hibah, dan juga salinan akta kelahiran penerima hibah yang menunjukkan bahwa antara pemberi hibah dan penerima hibah mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta salinan Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSPD BPHTB) yang diajukan ke Badan Pendapatan Daerah.
Selain ketentuan formal yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat pula ketentuan material agar SKB tersebut dapat diterbitkan dan disetujui KPP. Objek hibah harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pemberi hibah. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU KUP jo. UU HPP), sebagai wajib pajak orang pribadi (WP OP), pemohon hibah harus melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi setiap tahun dengan benar, lengkap dan jelas. Pelaporan SPT Tahunan tersebut termasuk isian mengenai daftar harta yang dimiliki WP OP pada akhir tahun pajak. Kepemilikan atas tanah merupakan bentuk kekayaan/harta sehingga wajib dilaporkan dalam daftar rincian harta pada SPT Tahunan PPh dimulai pada tahun saat diperolehnya hak atas tanah tersebut sampai dengan tahun terakhir sebelum tahun dialihkan ke pihak lain.
Setelah SKB Hibah diterbitkan oleh KPP pemberi hibah terdaftar, penerima hibah dapat menunjukan SKB PPh atas PHTB tersebut kepada notaris atau kantor pertanahan, apabila diurus secara mandiri. Setelah melakukan balik nama hibah, atas tanah dan/atau bangunan hibah tersebut wajib dilaporkan pada SPT Tahunan penerima hibah secara lengkap dan benar.
“Kira-kira prosedur dan ketentuannya seperti itu Budhe, Pakdhe. Cepet kok, hanya tiga hari kerja setelah berkasnya lengkap diterima oleh KPP,” imbuhku sembari menyeruput kopi yang mulai dingin dan mengambil pisang goreng di meja.
“oh, iya-iya, makasih ya Hid informasinya … nanti Budhe-Pakdhe ngumpulin persyaratannya dulu. Kalau sudah, tak ke kantor pajak buat menyerahkan berkasnya,” tambah Pakdhe.
“Lha terus nanti diserahkan ke kantor pajak mana?”
“Lho, lha jenengan ki piye to. Kan domisili dan terdaftarnya di Boyolali. Ya diajukan ke KPP Pratama Boyolali, to” imbuh Budhe Sri gemes, disusul kami bertiga tertawa bersama.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/hibah-tanah-dari-orang-tua-ke-anak-kena-pajak