Sel, 03 Okt 2023
Oleh: Ana Farida Sahara, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan adalah sarana wajib pajak untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan pelaksanaan kewajiban perpajakannya selama satu tahun. Namun, selain penghasilan dan pajaknya, ada beberapa hal yang juga harus dilaporkan. Di antaranya adalah harta dan utang.
Nah, untuk yang disebut terakhir ini, acap khalayak berpikir: kenapa sih utang juga harus dilaporkan? Dikenakan pajak juga? Udah jatuh tertimpa tangga dong! Tenang, justru dengan melaporkan utang, petugas pajak akan lebih bisa memahami perasaan kita sebagai Wajib Pajak. Mari kita melogika.
Dalam ketentuan perpajakan, pengertian penghasilan adalah tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh wajib pajak dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Kemampuan ekonomis itu sendiri bisa dijelaskan sebagai kemampuan untuk melakukan konsumsi dan menabung atau investasi.
Penghasilan pada umumnya akan digunakan sebagai konsumsi, tabungan, dan investasi. Pajak penghasilan dalam SPT Tahunan ini dihitung satu tahun sekali, sehingga, petugas pajak akan melakukan pengawasan atas kebenaran data yang disampaikan wajib pajak di tahun bersangkutan. Salah satu kegiatan pengawasan oleh fiskus adalah dengan meneliti SPT Tahunan dari wajib pajak tersebut. Perubahan harta dan utang Wajib Pajak, merupakan salah satu indikator dari bertambah atau berkurangnya penghasilan. Oleh karena itu, penting bagi setiap wajib pajak untuk melaporkan harta dan utang sesuai kondisi yang sebenarnya. Untuk lebih jelasnya kita bisa menyimak ilustrasi berikut ini.
Seorang wajib pajak, sebut saja Tuan Fulan, melaporkan SPT-nya untuk tahun pajak 2020. Tuan Fulan melaporkan adanya penghasilan dari pekerjaan sebesar 100 juta rupiah, penghasilan dari pekerjaan bebas 100 juta rupiah sehingga total jenderal penghasilannya adalah 200 juta rupiah. Di SPT yang yang sama, Tuan Fulan melaporkan adanya aset berupa tabungan dengan saldo 100 juta. Tuan Fulan tidak melaporkan bahwa dia memiliki utang di tahun tersebut.
Tahun berikutnya Tuan Fulan menyampaikan SPT Tahunan Tahun Pajak 2021. Lalu, ia melaporkan adanya penghasilan dari pekerjaan sebesar 100 juta rupiah, penghasilan dari pekerjaan bebas 100 juta rupiah, sehingga total penghasilannya adalah 200 juta rupiah –masih seperti tahun sebelumnya. Ia melaporkan adanya harta berupa tabungan dengan saldo 100 juta dan mobil seharga 300 juta rupiah yang dibeli pada tahun 2021.
Analisis sederhana dari pelaporan SPT tersebut adalah sebagai berikut:
Secara mudah, kita bisa melihat bahwa ada ketidakcocokan antara penghasilan dengan pengeluaran yang dilaporkan. Penghasilan Rp200 juta, tetapi ada tambahan harta Rp300 juta. Dari manakah selisih Rp100 jutanya? Bagaimana dengan biaya hidupnya setahun ini?
Mungkin –untuk contoh kasus ini– Tuan Fulan ini membeli mobil dengan cara kredit dan uang muka Rp30 juta. Kemudian ia membayar angsurannya per bulan. Namun, dia tidak melaporkan utang atas cicilan mobil tersebut di dalam SPT-nya.
Sebagai perbandingan, anggap Tuan Fulan mendeklarasikan pinjamannya di SPT Tahunan Tahun Pajak 2021, misalnya saja sisa pinjaman mobil tersebut di akhir tahun 2021 adalah Rp250 juta. Oleh karena itu, analisis sederhana atas perubahan hartanya menjadi seperti berikut ini:
Jadi secara sederhana saja kita bisa melihat bahwa di tahun 2021, uang masuk yang diterima adalah Rp200 juta, dan uang yang dikeluarkan adalah Rp50 juta untuk membeli mobil dan pengeluaran-pengeluaran lainnya untuk kebutuhan pribadi Tuan Fulan. Cukup jelas bukan perbedaannya? Hal ini supaya lebih jernih, dari mana asal-usul pertambahan harta tersebut. Soalnya, bertambahnya harta tanpa diimbangi dari kenaikan penghasilan –dengan asumsi segala kondisi tidak berubah– dapat ditengarai ada penghasilan yang belum dilaporkan.
Sistem perpajakan di Indonesia menganut self assessment, sehingga wajib pajak diberikan wewenang –lain kata, negara memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak, hingga ditemukan bukti lain– untuk menghitung dan memperhitungkan sendiri penghasilan dan pajaknya. Namun sebagai konsekuensi dari pemberian wewenang tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa wajib pajak sudah melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila ada yang perlu dikonfirmasi, maka wajib pajak akan menerima surat permintaan konfirmasi dari DJP.
Jadi, agar silaturahmi tak terputus, pinjam dulu lah seratus. Eh, bukan … maksudnya … agar urusan SPT-mu bagus, laporkan pinjamanmu walau seratus.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/agar-urusan-spt-lurus-laporkan-utang-meski-seratus