Pajak.com, Jakarta – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat menaikkan target penerimaan pajak menjadi Rp 1.988,87 triliun pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024. Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Ihsan Priyawibawa memastikan, DJP telah menyiapkan beberapa kebijakan untuk mencapai target tersebut. Salah satunya, prioritaskan awasi Wajib Pajak superkaya atau high wealth individual (HWI), grup, dan transaksi afiliasi.
Sebagai informasi, Wajib Pajak HWI adalah Wajib Pajak yang memiliki kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) pada level atas. Sementara, Wajib Pajak grup, merujuk Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-05/PJ/2022, merupakan kumpulan dua atau lebih Wajib Pajak dalam suatu kelompok usaha sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang (UU) PPh, Pasal 2 ayat (2) UU PPN, atau pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa tetapi diketahui sebagai kelompok usaha. Kemudian, Wajib Pajak transaksi afiliasi adalah Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak afiliasi.
“Jadi, kalau kita memerhatikan pengawasan HWI, Wajib Pajak grup, dan transaksi afiliasi itu bisa tecermin dari kontribusi Kanwil (Kantor Wilayah) DJP Wajib Pajak Besar dan Kanwil DJP Jakarta Khusus yang cukup signifikan. Selain itu, mengapa ini menjadi prioritas pengawasan? karena kami (DJP) menyadari, HWI, Wajib Pajak grup, dan transaksi afiliasi membutuhkan pendalaman yang cukup,” ungkap Ihsan kepada Pajak.com, saat Media Gathering Kementerian Keuangan, di Cianjur, Jawa Barat (27/9).
Mengulik data DJP, realisasi penerimaan pajak Kanwil DJP Wajib Pajak Besar tahun 2021 tercatat sebesar Rp 365,965 triliun, sementara Kanwil DJP Jakarta Khusus Rp 184.208 triliun. Sedangkan, total realisasi penerimaan pajak nasional sebesar Rp 1.278,56 triliun.
“Terkait tingkat kepatuhan, bukan berarti Wajib Pajak-Wajib Pajak tersebut tidak patuh. Kita sudah membuat profil risiko berdasarkan tingkat risiko kepatuhan, menggunakan CRM (Compliance Risk Management). Apakah Wajib Pajak (HWI, grup, dan afiliasi) itu risiko tingkat kepatuhannya rendah? Tidak juga. Sebetulnya, itu berlaku ke semua Wajib Pajak kecil sekalipun,” jelas Ihsan.
Berdasarkan Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak Nomor SE-24/PJ/2019, CRM adalah suatu proses pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak secara menyeluruh, meliputi identifikasi, pemetaan, pemodelan, mitigasi atas risiko kepatuhan Wajib Pajak, hingga tahap evaluasi. CRM akan menciptakan suatu kerangka kerja yang sistematis, terukur, dan objektif.
Secara simultan, DJP juga akan fokus melakukan perluasan basis pemajakan sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tindak lanjut Program Pengungkapan Sukarela (PPS), dan implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
“DJP juga (melakukan) penguatan ekstensifikasi pajak serta pengawasan terarah dan berbasis kewilayahan, implementasi penyusunan Daftar Sasaran Prioritas Pengamanan Penerimaan Pajak (DSP4) dan optimalisasi penerimaan pajak dari ekonomi digital,” ujar Ihsan.
DJP akan mengimplementasi Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau core tax sekaligus perbaikan layanan perpajakan dan pengelolaan data yang berbasis risiko, serta tindak lanjut kegiatan interoperabilitas data pihak ketiga.
Dari sisi kegiatan penegakan hukum, DJP berupaya mewujudkan keadilan untuk Wajib Pajak dengan memaksimalkan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dan pemanfaatan kegiatan digital forensics.
“Pemerintah juga tetap memberikan insentif fiskal yang terarah dan terukur yang ditujukkan untuk mendorong pertumbuhan sektor tertentu dan memberikan kemudahan investasi,” pungkas Ihsan.