Sel, 12 Sep 2023
Oleh: Frida Wahyu Pratiwi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam melaksanakan tugasnya dapat melakukan beberapa upaya menagih utang pajak secara aktif. Salah satu upaya itu adalah penyanderaan (gijzeling) terhadap penanggung pajak atas utang pajak yang belum dibayarkan.
Pelaksanaan gijzeling merupakan langkah terakhir yang diambil untuk menagih utang pajak agar penunggak pajak melunasi utang pajaknya. Pengertian gijzeling menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (UU PPSP) adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. Pelaksanaan gijzeling dilakukan oleh jurusita pajak.
Dalam mengambil keputusan berupa upaya gijzeling, DJP mempertimbangkan dua hal yaitu syarat kualitatif dan kuantitatif. Syarat kualitatif untuk pelaksanaan penyanderaan adalah tidak adanya iktikad baik dari penanggung pajak selama proses penagihan pajak. Apabila selama proses penagihan pajak wajib pajak menunjukkan iktikad baik dengan bersedia untuk melunasi, mencicil utang pajaknya atau kooperatif, pengambilan keputusan pelaksanaan gijzeling dapat dihindari. Sedangkan syarat kuantitatifnya yaitu utang pajak sekurang-kurangnya Rp100 juta rupiah.
Kedua syarat tersebut harus terpenuhi saat jurusita pajak mengambil keputusan untuk melaksanakan penyanderaan. Kemudian dalam UU PPSP juga disebutkan bahwa surat perintah penyanderaan yang menjadi dasar pelaksanaan penyanderaan harus diterbitkan oleh pejabat dengan izin menteri atau gubernur.
Penempatan penanggung pajak yang disandera adalah rumah tahanan negara di bawah naungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia karena saat ini DJP belum mempunyai tempat khusus yang memenuhi kriteria sebagai tempat penyanderaan. Kriteria yang dapat memenuhi syarat untuk dijadikan tempat penyanderaan yaitu: terasing dan tertutup dari masyarakat; fasilitas terbatas; dan sistem pengawasan dan pengamanan memadai.
Efektif Melunasi Utang Pajak?
Penagihan pajak berupa pelaksanaan penyanderaan tidak menghapuskan utang pajak sehingga tujuan dari pelaksanaannya untuk memberikan efek jera bagi penunggak pajak. Sebagai langkah terakhir penagihan pajak, penyanderaan harus dilakukan setelah semua penagihan secara persuasif dan friendly collection telah dilakukan. Jurusita pajak wajib memastikan bahwa seluruh penagihan secara aktif seperti penerbitan Surat Teguran, pemberitahuan Surat Paksa, dan pelaksanaan penyitaan telah optimal dilakukan. Dasar penagihan pajak juga harus dipastikan mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht).
Pelaksanaan penyanderaan berupa penyanderaan harus dilakukan secara efektif agar penunggak pajak melunasi seluruh utang pajak. Jurusita harus mampu mempertimbangkan hal-hal yang strategis agar pelaksanaan penyanderaan dapat terlaksana secara efektif.
Suatu kegiatan disebut efektif apabila hasil tercapai sesuai yang diharapkan dengan melihat ketepatan waktu dan prosedur yang dilaksanakan. Untuk menilai efektivitas pelaksanaan penyanderaan, hal yang perlu dinilai yaitu kemampuan bayar (ability to pay) penunggak pajak, seluruh prosedur penagihan pajak secara aktif dan friendly collection telah dilakukan, dan jangka waktu pelunasan pajak setelah penyanderaan.
Penunggak pajak yang diusulkan menjadi sandera harus mempunyai kemampuan bayar yang tinggi untuk melunasi utang pajak. Jurusita sebelum melakukan penyanderaan perlu melakukan asset tracing agar pelaksanaan penyanderaan tidak berujung sia-sia. Tujuan utama pelaksanaan penyanderaan yaitu menagih utang pajak sehingga penunggak pajak yang disandera harus dipastikan memiliki aset yang cukup untuk melunasi utang pajak dan mengamankan penerimaan negara.
Atas pelaksanaan penyanderaan yang tidak sesuai prosedur dapat dilakukan gugatan oleh penunggak pajak sehingga seluruh penagihan secara aktif harus dipastikan telah dilakukan secara optimal dan dasar penagihan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Tindakan penagihan yang aktif harus sesuai dengan alur penagihan yang diamanatkan oleh UU PPSP. Berkaitan dengan syarat kualitatif penyanderaan, jurusita pajak harus bisa menilai sikap dan komitmen wajib pajak untuk melunasi utang pajak dalam mengambil keputusan untuk usulan penyanderaan. Efektivitas penyanderaan dapat dinilai dari hal tersebut untuk memastikan tidak muncul masalah di kemudian hari.
Selain itu, efektivitas pelaksanaan penyanderaan dapat dinilai dari jangka waktu pelunasan utang pajak setelah penunggak pajak disandera. Pada hakikatnya manusia mempunyai perasaan tidak nyaman apabila kebebasannya direnggut sehingga terdorong untuk melunasi utang pajak agar segera mendapat kebebasan. Pengalaman direnggut kebebasannya karena kelalaian pemenuhan kewajiban perpajakan akan membuat penanggung pajak lebih patuh. Jangka waktu penyanderaan yaitu enam bulan dan dapat diperpanjang enam bulan sehingga penyanderaan dinilai efektif apabila penunggak pajak melunasi utang pajak sebelum jangka waktu berakhir.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/mengenal-gijzeling-upaya-terakhir-penagihan-pajak