Jum, 18 Agu 2023
Oleh: Ardian Mahardi Putera, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku saya menyatakan bahwa apa yang telah saya beritahukan di atas adalah benar, lengkap, jelas.”
Kutipan di atas ialah pernyataan yang harus dicentang “setuju” oleh wajib pajak sebelum melakukan submit penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Ketentuan bahwa SPT wajib diisi secara benar, lengkap, dan jelas tercantum di dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Ketentuan tersebut sebenarnya sudah merangkum kewajiban pengisian SPT. SPT yang disampaikan secara benar, lengkap, dan jelas tentu sudah selesai secara formal dan bisa jadi secara material. Benar artinya benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan perpajakan. Lengkap artinya memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak. Jelas artinya melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak.
Dalam penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh), banyak wajib pajak yang sudah merasa mengisi secara benar, lengkap, dan jelas dalam hal penghasilan yang diterima ataupun diperolehnya. Hal ini mengingat fokus dari wajib pajak ialah pada “penghasilan”. Padahal, pengisian SPT tidak melulu seputar penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh. Melainkan terdapat unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT. Misalkan data harta, data hutang, dan data keluarga. Data-data tersebut termasuk unsur-unsur yang berkaitan dengan penghasilan, khususnya data harta yang berkaitan secara langsung. Mengapa begitu?
Konsep persamaan ekonomi atas hubungan antara penghasilan, konsumsi, dan aset digambarkan sebagai berikut:
Y = C + I
Y = Penghasilan
C = Konsumsi
I = Investasi/Aset
Sehingga atas tiap penghasilan yang diperoleh oleh wajib pajak, tentu digunakan wajib pajak untuk konsumsi/biaya hidup dan untuk investasi/aset. Jika ada penambahan harta wajib pajak pada tahun pajak berjalan, tentunya perolehan harta tersebut bersumber dari penghasilan yang diperoleh pada tahun berjalan.
Walau dalam kasus tertentu sumber perolehan harta dapat berasal dari hutang, namun atas pembayaran cicilan dan bunga hutang juga dapat dikaitkan dengan kewajaran penghasilan yang dilaporkan. Penghasilan ini tidak menjadi masalah jika sudah dibayarkan pajaknya atau sudah diperhitungkan dalam SPT Tahunan wajib pajak. Namun, jika penghasilan tersebut belum dibayarkan pajaknya, maka wajib pajak harus membayarkan pajak atas penghasilan tersebut.
Jika misalkan di suatu waktu ditemukan data harta wajib pajak yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan wajib pajak, maka Ditjen Pajak dalam hal ini petugas Account Representative (AR) dapat meminta klarifikasi atas data tersebut dan apabila wajib pajak tidak dapat menjelaskan bahwa penghasilan yang digunakan untuk memperoleh harta tersebut sudah dibayarkan pajaknya, petugas dapat menganggap tambahan harta tersebut sebagai data penghasilan yang belum dilaporkan pada SPT Tahunan.
Data Harta Prepopulated
Mengingat pentingnya data harta untuk dilaporkan secara benar, lengkap, dan jelas, perlu adanya sistem pengisian otomatis yang akan memudahkan wajib pajak dalam melaporkan seluruh harta yang dimilikinya. Sistem pengisian data otomatis di awal disebut dengan prepopulated data. Prepopulated data adalah data yang sudah terisi atau terisi otomatis pada formulir pajak atau aplikasi pajak daring berdasarkan informasi yang sudah diketahui oleh otoritas pajak atau lembaga keuangan tertentu.
Prepopulated data dalam sistem perpajakan di Indonesia sudah berjalan pada prepopulated data pajak masukan dan prepopulated data bukti potong di SPT Tahunan wajib pajak. Pada saat wajib pajak ingin melaporkan SPT Tahunan, akan muncul notifikasi adanya prepopulated data yang ada pada sistem DJP. Wajib pajak diberikan pilihan untuk menggunakannya atau tidak. Data ini berasal dari data faktur pajak masukan atau data bukti potong yang direkam oleh lawan transaksi pada saat melaporkan SPT Masa.
Prepopulated data untuk data harta belum berjalan di Indonesia. Dalam hal penerapan prepopulated data harta akan dilaksanakan, sumber data harta yang memungkinkan untuk diimplementasikan adalah data interkoneksi antara NIK dengan data harta wajib pajak. Mengingat pada 1 Januari 2024 akan berlaku penerapan NIK-NPWP, maka impian ini memungkinkan untuk direalisasikan.
Semangat untuk menjalankan Single Identification Number (SIN) ini juga harus didukung oleh banyak pihak yang terlibat. Misalnya sinkronisasi NIK dengan data SHM, NIK dengan data BPKB, NIK dengan data nomor rekening, NIK dengan data rekening saham, dan NIK dengan data royalti HAKI untuk contoh data harta tak berwujud. Dengan adanya interkoneksi tersebut, bukan tidak mungkin prepopulated data harta dapat dijalankan dengan optimal. Bagi wajib pajak Badan, interkoneksi dapat dibentuk antara NPWP 16 digit dengan data-data yang disebutkan sebelumnya.
Tujuan prepopulated data harta adalah untuk memudahkan wajib pajak dalam melaporkan harta dan aset yang dimilikinya pada formulir pajak atau aplikasi pajak daring. Dengan adanya prepopulated data harta, wajib pajak tidak perlu lagi mengisi secara manual informasi mengenai aset yang dimilikinya dan dapat menghindari kesalahan dalam pengisian. Namun demikian, wajib pajak tetap bertanggung jawab untuk memeriksa dan memastikan bahwa prepopulated data harta yang disediakan benar dan lengkap. Jika terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian dalam prepopulated data harta, wajib pajak harus melakukan koreksi dan memberikan informasi yang benar dan lengkap pada formulir pajak atau aplikasi pajak daring.
Pemanfaatan Data Harta
Data harta yang dilaporkan secara benar, lengkap, dan jelas bermanfaat untuk analisis SPT oleh petugas pajak. Perlu dilihat apakah penghasilan yang diperoleh pada tahun berjalan sebanding dengan penambahan harta atau tidak. Atas data harta yang sumber penghasilannya belum dibayarkan pajak penghasilan, dapat dilakukan penggalian potensi.
Data harta/aset yang dimiliki wajib pajak juga dapat digunakan untuk melakukan analisis kewajaran omzet atau penghasilan dari wajib pajak. Misalkan untuk data harta mesin produksi dapat dikaitkan dengan produktivitas usaha wajib pajak khususnya dari tingkat produksi. Kapasitas dari suatu mesin produksi misalnya menghasilkan 100 unit produk dalam sehari. Sehingga secara hitungan kasar, jika dalam data aset perusahaan terdapat 10 mesin produksi, seharusnya produk yang dihasilkan berkisar 1.000 unit dalam sehari. Hal ini tentunya menjadi data analisis untuk menilai dan membandingkan jumlah produksi, persediaan barang, dan nilai penjualan wajib pajak.
Isu dan Tantangan
Selain dari banyak kelebihan prepopulated data yang disebutkan sebelumnya, penerapan prepopulated data memiliki beberapa isu yang perlu diatasi. Salah satunya yaitu kerahasiaan data harta wajib pajak. Prepopulated data yang tersimpan dalam sistem pelaporan pajak haruslah terenkripsi dengan baik sehingga tidak sembarangan diakses dan disalahgunakan.
Fitur prepopulated juga harus mengizinkan wajib pajak untuk melakukan perubahan. Tidak hanya mengambil data mentah-mentah. Terhadap prepopulated data yang dihapus atau diubah oleh wajib pajak, dapat ditambahkan kolom isian keterangan alasan wajib pajak menghapus atau mengubah data tersebut.
Perubahan dalam sistem administrasi perpajakan haruslah bermuara pada peningkatan kepatuhan wajib pajak, khususnya kepatuhan pajak sukarela (voluntary tax compliance) yang dapat dicapai salah satunya melalui kemudahan dan kesederhanaan administrasi pajak. Terlebih lagi pada sistem perpajakan self assessment yang menuntut wajib pajak dengan beragam latar belakang menjalankan kewajiban perpajakannya secara mandiri. Pada akhirnya semakin mudah administrasi perpajakan, akan semakin tinggi pula tingkat kepatuhan dari wajib pajak.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/prepopulated-data-harta-upaya-peningkatan-kepatuhan-pajak-dan-tax-ratio