Oleh: Afrialdi Syah Putra Lubis, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, dalam  Konferensi Pers Program Pengungkapan Sukarela menyatakan jumlah harta yang diungkap dalam Program Pengungkapan Sukarela (PPS) adalah 594,82 triliun rupiah. Dari nilai tersebut, uang tunai merupakan harta yang banyak diungkapkan oleh peserta sebesar 263,15 triliun rupiah.

Dari program ini dapat diperoleh informasi bahwa harta wajib pajak masih banyak yang beredar di lapangan namun tidak dilaporkan dalam SPT Tahunan.  Dengan fasilitas tidak diperiksa dari tahun pajak 2017-2020, wajib pajak dengan transparansi yang sangat tinggi melaporkan seluruh tambahan harta yang belum dilaporkan selama empat tahun tersebut.  Harta kembali menjadi indikator program pemerintah dalam memberikan “keringanan pajak” bagi wajib pajak. Sebelumnya, di tahun 2016-2017, pemerintah pernah menyelenggarakan program amnesti pajak.

Mengapa harta yang menjadi indikator? Harta dianggap sebagai nilai neto dari penghasilan yang dimiliki wajib pajak. Dengan penghasilan, wajib pajak dapat menambah nilai hartanya untuk kepentingan usaha ataupun investasi. Bagi wajib pajak orang pribadi, kepemilikan harta menjadi indikator peningkatan penghasilan atau omzet usaha, sedangkan bagi wajib pajak badan penambahan nilai harta untuk meningkatkan produksi.

Dalam pengisian SPT, harta menjadi bagian yang wajib dilaporkan sebagai penguji kebenaran nilai penghasilan yang dilaporkan. Unsur kesengajaan dalam menyampaikan harta yang tidak benar dapat menjadi pemicu negatif bagi wajib pajak atau yang sering dikenal dengan sebutan tax avoidance.

Kebenaran Pengisian Harta SPT Tahunan

Lampiran harta sering sekali diisi hanya formalitas semata agar tidak dikirim surat “cinta” dari kantor pajak setelah melaporkan SPT Tahunan. Seperti mencantumkan nilai kosong pada lampiran IV SPT 1771 dan lampiran khusus 1A pada SPT 1770.

Pengisian harta sudah ditegaskan pada Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) Nomor 28 Tahun 2007. Pada Pasal 3 ayat (1) UU KUP dijelaskan bahwa, “Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.”

Benar, lengkap, dan jelas adalah tiga kata berurutan yang menjadi rangkaian kalimat instruksi bagi wajib pajak dalam melaporkan SPT. Jika salah satu saja tidak dilakukan, SPT dianggap dilaporkan dengan tidak benar. SPT yang benar adalah SPT yang dapat menjelaskan apa yang terjadi dengan wajib pajak dari sisi penghasilan dan pengeluaran dan direpresentasikan ke dalam angka, sehingga dengan data tersebut DJP dapat melakukan pengawasan atas kewajiban perpajakan setiap wajib pajak. Kesesuaian antara penghasilan dan pengeluaran yang dalam satu tahun pajak wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan.

Penghasilan digunakan untuk membiayai pengeluaran dan sisanya simpanan yang menjadi harta wajib pajak. Dari kalimat tersebut yang menjadi dasar perhitungan pajak yang harus dibayar adalah nilai akhir tersebut. Negara memberikan kebebasan bagi warganya untuk menghitung sendiri pajaknya. Bukan berarti negara lepas tangan dengan rakyatnya, tetapi memberikan kepercayaan kepada rakyatnya untuk menghitung sendiri pajaknya. Hal itu menggambarkan bahwa pajak yang berlaku di Indonesia sudah sangat memfasilitasi dan memberikan kebebasan wajib pajak dalam menghitung sendiri secara self assessment system.

Secara umum tidak ada yang menyukai pajak, maka itu pajak adalah kewajiban masyarakat kepada negara yang bersifat memaksa. Karena bersifat memaksa, maka dilakukan pengawasan dan pemeriksaan untuk pengujian kepatuhan. Akan selalu ada kasus wajib pajak mengurangi pajak yang dibayarkan.

Jika dilihat praktik pajak di sebuah negara, hal ini memang sudah menjadi sebuah siklus dalam dunia perpajakan. Harta yang merepresentasikan kondisi keuangan wajib pajak sedapat mungkin akan disembunyikan kebenarannya dengan berbagai macam alasan. Wajib pajak berusaha semaksimal mungkin menghindari pajak, sedangkan DJP berusaha semaksimal mungkin mencari kebenaran kewajiban pembayaran wajb pajak.

Konsistensi Lapor Harta

Sekecil dan sebesar apa pun harta yang dimiliki wajib dilaporkan ketika melaporkan SPT Tahunan. Untuk itu DJP telah menyediakan banyak kode harta demi menyesuaikan dengan harta paling bernilai kecil yang dimiliki wajib pajak. Ini supaya seluruh penghasilan bersih yang dimiliki wajib pajak dapat direpresentasikan ke dalam laporan harta.

Konsistensi melaporkan harta ke dalam SPT dengan sebenarnya memberikan rasa ketenangan sebagai wajib pajak dan sebagai warga negara yang baik. Pajak yang menjadi sumber terbesar penerimaan negara sudah seharusnya ditunaikan selaku wajib pajak untuk membantu negara dalam mencapai target APBN-nya.

Percayalah bahwa sistem perpajakan yang dianut di negara kita sudah mempertimbangkan kemudahan dan kenyamanan masyarakat sebagai pahlawan penerimaan negara lewat pajak. Tidak ada satu prosedur dalam menjalankan kewajiban perpajakan memberatkan wajib pajak. Bayar dan lapor adalah dua kegiatan yang menjadi satu kesatuan dalam penunaian kewajiban perpajakan. Keduanya tidak akan bisa saling memberikan informasi jika salah satunya tidak ada.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

 

Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/peran-vital-harta-sebagai-indikator-kebenaran-spt-tahunan