Oleh: Angga Sukma Dhaniswara, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Robert T. Kiyosaki, seorang penulis dan pengusaha asal Amerika Serikat, dalam bukunya yang berjudul “Rich Dad’s Cashflow Quadrant: Guide To Financial Freedom” memperkenalkan sebuah teori yang disebut Cashflow Quadrant. Teori ini membagi masyarakat ke dalam empat golongan yaitu Employee (E), Self-Employed (S), Business Owner (B), dan Investor (I).

Setiap golongan tersebut memiliki cara dan metode yang berbeda dalam memperoleh penghasilan. Golongan “E” menunjukkan seseorang yang menerima sumber pendapatannya dari pekerjaan tetap sebagai seorang karyawan. Golongan “S” mewakili seseorang yang mendapatkan sumber penghasilan dari pekerjaan yang dilakukan seperti dokter, agen asuransi, dan sejenisnya. Golongan “B” merupakan para pebisnis yang memiliki sejumlah karyawan untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya. Sementara golongan “I” memperoleh penghasilannya dari hasil investasi yang ditanamkannya.

Lantas kelompok manakah yang memiliki kecenderungan untuk membayar Pajak Penghasilan (PPh) dengan lebih efisien?

Dalam sistem perpajakan Indonesia, kita mengetahui ada dua jenis pengenaan PPh yaitu final dan tidak final. Perbedaan keduanya terletak pada sifat pengenaannya. PPh final bersifat rampung, yang berarti pada saat pajak tersebut dilunasi maka pembayaran pajaknya sudah dianggap tuntas. Sebaliknya untuk PPh tidak final, atas pajak yang telah dibayarkan sifatnya masih belum tuntas atau harus diperhitungkan kembali dengan penghasilan lainnya.

Perwujudan PPh tidak final ini dapat tecermin pada pengenaan tarif Pasal 17 ayat (1) a Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam UU tersebut  diatur bahwa untuk orang pribadi dalam negeri dikenai PPh dengan tarif yang progresif, yang berarti semakin tinggi penghasilan seseorang, maka semakin tinggi pula besar pajak yang harus ditanggung. Sementara, PPh final pengenaannya tecermin dalam penghasilan dari sewa tanah dan/atau bangunan (10%), penghasilan bagi wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu (0,5%),dan penghasilan lain yang pengenaannya diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri.

Menurut cashflow quadrant, golongan “I” merupakan kelompok yang berpotensi paling efisien dari sisi pembayaran pajak karena membiarkan uang yang mereka miliki bekerja dengan sendirinya. Mereka mendapatkan penghasilan yang bersumber dari pendapatan pasif (passive income) seperti dari investasi, penerimaan dividen, properti, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, para golongan “I” memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan disparitas tarif progresif dan tarif pajak final untuk melakukan penghematan dan perencanaan pajak yang sah dan legal dengan tetap mengikuti aturan hukum yang berlaku.

Sebagai perbandingan, mari kita sandingkan dengan golongan lainnya.

  • Tuan A yang merupakan karyawan (berada pada kuadran “E”) berstatus lajang tanpa tanggungan (TK/0), mendapatkan imbalan dengan penghasilan neto sebesar Rp1 miliar. Berarti penghasilan kena pajaknya adalah Rp1 miliar – Rp54 juta = Rp946 juta. Maka besarnya PPh terutang untuk Tuan A akan dihitung dengan menggunakan tarif progresif yaitu sebesar = ( 5% x Rp60 juta) + (15% x Rp190 juta) + (25%x Rp250 juta)+(30%xRp446 juta) = Rp227,8 juta.
  • Tuan A bekerja sebagai dokter yang berpraktik sendiri (berada pada kuadran “S”). Diketahui omzet kotor dari penghasilan dokternya adalah Rp 1 miliar. Jika dia memilih untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, maka besaran penghasilan netonya adalah 50% x Rp1 miliar = Rp500 juta. Atas penghasilan tersebut, besar penghasilan kena pajak Tuan A adalah Rp500 juta – Rp54 juta = Rp446 juta. Dengan demikian, PPh terutang Tuan A akan dihitung dengan menggunakan tarif progresif yaitu sebesar = (5% x Rp60 juta) + (15%xRp190 juta) + (25%xRp196 juta) = Rp80,5 juta.
  • Tuan A memiliki modal Rp 10 miliar dan menggunakan semua uang yang dimilikinya sebagai modal usaha dalam membuka restoran. Dalam hal ini Tuan A berada pada kuadran golongan “B”. Apabila berdasarkan hasil pencatatan tahunan, restoran tersebut berhasil memperoleh omzet sebesar Rp1 miliar dan Tuan A memilih untuk dikenai PPh final UMKM. Maka besar PPh terutangnya adalah 0,5% x (Rp1 miliar – Rp500 juta (peredaran bruto tidak kena pajak)) = Rp2,5 juta.
  • Dengan modal yang sama, Tuan A memilih untuk berinvestasi (berada pada kuadran “I”) dan menanamkan saham pada PT B dengan nilai setoran modal Rp10 miliar. Hal ini menjadikan Tuan A sebagai pemegang 30% saham perusahaan. Pada akhir tahun pajak, berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) disepakati bahwa terdapat pembagian dividen sebesar Rp1 miliar untuk Tuan A. Atas dividen yang diterima tersebut, Tuan A tidak dikenai PPh final atas dividen sepanjang dividen yang diterimanya diinvestasikan kembali ke sektor-sektor yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

Meskipun dalam beberapa kasus, hitungan matematis tersebut bisa berubah. Namun dari keempat ilustrasi tersebut, diketahui bahwa dengan besaran penghasilan yang sama terdapat potensi pengenaan pajak yang berbeda-beda. Hal ini bukan berarti bahwa pemerintah pro terhadap suatu golongan karena setiap orang dari lapisan apa pun mempunyai kesempatan yang sama untuk menggunakan setiap rupiah yang dimilikinya dalam rangka mencapai kesejahteraan yang diidam-idamkannya.

Dalam hal ini, pemerintah bertindak sebagai regulator yang memastikan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama dengan jaminan level playing field yang sama. Selain itu, pemerintah tetap memberikan perlindungan kepada golongan lainnya dengan pemberian insentif seperti Penghasilan Tidak Kena Pajak, Peredaran Bruto Tidak Kena Pajak, dan insentif perpajakan lainnya.

Pada dasarnya pengenaan pajak seseorang kembali bergantung pada langkah apa yang akan ditempuhnya, tentu dengan segala konsekuensi yang ada di dalamnya. Tak mengherankan jika Robert T. Kiyosaki selalu menekankan bahwa kecerdasan finansial adalah kunci untuk mencapai kebebasan finansial. Namun satu hal yang tidak boleh terlupakan, yaitu dalam setiap kebebasan finansial selalu melekat tanggung jawab moral untuk turut membantu dan menyejahterakan sesama. Salah satunya dengan membayar pajak dengan benar.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

 

Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/strategi-efisiensi-pajak-menurut-cashflow-quardrant