Oleh: Andi Zulfikar, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Sekitar 2000 tahun yang lalu, seorang pejabat istana di dinasti Han Timur merasa bahagia karena  dia menemukan sebuah media baru yang bisa mengubah dunia. Pada tahun 105 M, lelaki bernama Cai Lun itu menemukan kertas, penemuan yang terjadi tanpa sengaja. Ketika dia terlalu lama merendam pakaiannya yang terbuat rami, yaitu sejenis tumbuhan semak yang tingginya dapat mencapai satu sampai tiga meter, ternyata muncul residu yang bermanfaat. Temuannya itu kemudian dikenal sebagai kertas.

Pembuatan kertas yang masih sederhana itu, kemudian dikembangkan berates-ratus tahun kemudian oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid, khalifah kelima dari Kekhalifahan Bani Abbasiyah (berkuasa dari tahun 708 hingga 809 M). Di masa kekuasaannya, dikembangkan teknologi pembuat kertas yang lebih murah, mudah, dan dapat diproduksi massal. Tujuannya untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan melalui pembuatan, penerjemahan, dan penyebaran buku ke masyarakat.  Kemudian pada abad ke-14, Eropa menemukan alat percetakan kertas yang kemudian berkembang terus sampai saat ini.

Penggunaan kertas tentu saja menjadi salah satu transformasi budaya yang masif.  Sebelum penemuannya, masyarakat kuno menggunakan berbagai media untuk menulis. Ada yang menggunakan bambu, kayu, tanah liat, dan bahkan lempengan batu. Dengan penggunaan kertas, maka tidak hanya mengubah cara menyampaikan informasi, namun juga aspek lain, misalnya pelayanan pemerintahan kepada publik. Salah satunya adalah pelayanan perpajakan.

Dahulu kala, pelayanan perpajakan, khususnya di Indonesia, selalu identik dengan kertas. Salah satu contohnya adalah melalui pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT). Berbagai macam permohonan dan produk hukum juga harus menggunakan kertas. Pelayanan publik beberapa masa yang lalu harus menggunakan kertas dengan jumlah yang sangat besar. Pelayanan publik identik dengan keharusan adanya kertas.

Walaupun pada zaman dahulu penggunaan kertas dianggap menjadi kemudahan, namun seiring perkembangan zaman, penggunaan kertas disadari mempunyai dampak yang harus diperhatikan. Salah satu dampak dari pembuatan kertas adalah deforestasi serta munculnya hujan asam dan perubahan iklim.

Selain itu, penggunaan kertas sebagai sarana pelayanan publik juga memerlukan penggunaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang besar dan biaya untuk penyimpanannya baik dari pemerintah maupun masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan cara untuk mengubahnya. Salah satunya melalui digitalisasi pelayanan yang saat ini telah menjadi fokus utama, khususnya di Direktorat Jenderal Pajak.

Efisiensi

Beberapa tahun yang lalu pada saat ‘musim’ pelaporan SPT, masyarakat harus menggunakan kertas yang dicetak sesuai ketentuan perpajakan untuk melapor. Penggunaan kertas sangat banyak waktu itu. Bisa dibayangkan, dengan puluhan juta wajib pajak, berapa ratus juta lembar kertas yang harus dipergunakan. Seperti diketahui, berdasarkan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, wajib pajak harus melaporkan SPT Tahunannya paling lambat tiga bulan setelah akhir tahun pajak bagi wajib pajak orang pribadi dan empat bulan setelah akhir tahun pajak bagi wajib pajak badan.

Mengikuti perkembangan teknologi, Direktorat Jenderal Pajak melakukan digitalisasi pelayanan. Salah satu bentuk perubahan pelayanan yang menjadi pembeda adalah pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pelaporan SPT yang dapat dilakukan secara daring.

Wajib pajak tidak perlu lagi datang ke kantor pajak, cukup melalui situs web pajak, wajib pajak dapat melakukan kewajiban secara mudah, kapan saja, dan di mana saja. Wajib pajak dapat melakukan pelaporan SPT baik melalui e-Filing maupun e-Form. Penggunaan kertas sebagai media pelaporan pun secara drastis berkurang.

Bentuk pelayanan melalui cara digital terbukti menjadi cara yang lebih efisien dan efektif. Dengan berkurangnya penggunaan kertas, maka media penyimpanan arsip fisik pun semakin berkurang. Sumber data yang masuk semakin cepat diakses sehingga dapat mempermudah fiskus untuk melakukan pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Reformasi Pajak, Lingkungan Lestari

Saat ini, sejumlah proses bisnis perpajakan akan mengalami reformasi melalui Pembaruan Sistem Inti Perpajakan (PSIAP). Rencananya ada 21 proses bisnis yang berubah dengan teknologi digital memegang peranan penting dalam perubahan tersebut.

Salah satu tujuan perubahan tersebut adalah menyederhanakan proses bisnis baik bagi fiskus maupun wajib pajak sehingga pekerjaan dapat menjadi efektif, efisien, akuntabel, dan berbasis teknologi informasi. Perubahan ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan.

Salah satu dampak yang cukup besar dari reformasi pajak ini adalah penggunaan kertas yang menjadi sangat minimal. Masyarakat dapat menilai sendiri bagaimana digitalisasi pelayanan pendaftaran NPWP, pelaporan SPT, dan yang paling anyar yaitu permohonan Pemindahbukuan melalui e-PBk dapat secara signifikan tidak hanya mengurangi beban administrasi wajib pajak, melainkan juga mengurangi penggunaan kertas.

Direktorat Jenderal Pajak memang baru akan meluncurkan Sistem Inti Administrasi Perpajakan mulai tahun 2024. Namun reformasi ini harus mendapatkan dukungan penuh dari kita semua, baik dari fiskus maupun masyarakat luas karena dampaknya yang positif. Salah satu dampaknya ada pelestarian lingkungan melalui berkurangnya penggunaan kertas.

Bila dulu Cai Lun, orang yang diakui sebagai penemu kertas, bahagia karena apa yang dia temukan dapat mengubah dunia, maka saat ini kita juga dapat merasa bahagia karena ternyata digitalisasi pelayanan publik juga dapat mengubah dunia. Ini karena lingkungan lestari adalah salah satu harta umat manusia yang paling berharga.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

 

Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/digitalisasi-pelayanan-djp-menuju-tanpa-kertas