Oleh: Suparnyo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Apa yang akan anda lakukan dengan pendapatan Rp10.739,00  sehari? Bayangkan, untuk makan dan nasi lauk telur saja kurang. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2022, ada 5,59 juta saudara  kita yang mengalami kemiskinan ekstrem, sedangkan untuk kategori miskin 26,16 juta. Tanpa kita sadari, mungkin mereka ada di dekat kita.

Kemiskinan ekstrem diukur menggunakan Absolute Poverty Measure setara dengan US$1,9 PPP (purchasing power parity) per kapita per hari atau Rp322.170,00 per bulan. Instruksi Presiden nomor 4 tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem terbit dengan target kemiskinan ekstrem 0% di tahun 2024.

Dari pendapatan negara dalam APBN tahun 2023 sebesar Rp2.463 triliun, penerimaan perpajakan dipatok Rp2.021,2 triliun dan penerimaan pajak yang diampu oleh DJP ditargetkan Rp1.718 triliun. Uang pajak kita selalu hadir untuk mereka, anggaran perlindungan sosial sebanyak Rp476 triliun ditujukan untuk penurunan tingkat kemiskinan, pembangunan SDM jangka panjang, dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Target output prioritasnya buat Program Keluarga Harapan (PKH) bagi 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM); program sembako bagi 18,8 juta KPM; program prakerja bagi 500 ribu peserta; Program Indonesia Pintar (PIP) bagi 20,1 juta siswa, dan program Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah bagi 994,3 ribu mahasiswa melalui Kemendikbudristek dan Kemenag.

Lalu untuk Penerima Bantuan Iuran-Jaminan Kesehatan Nasional (PBI-JKN) bagi 96,8 juta peserta; subsidi listrik bagi 40,7 juta pelanggan; subsidi LPG 3 Kg 8 juta metrik ton serta subsidi bantuan uang muka perumahan 220 ribu unit rumah. Apabila semua anggaran tersebut terserap tepat sasaran maka akan luar biasa dampaknya, kenyatannya banyak terjadi penyimpangan.

Sering kita melihat berita yang dari judulnya saja sudah malas untuk membaca isinya, semua terkait data: “Ombudsman Temukan Manipulasi Data dan Pemotongan Nominal Bansos,” “Masih Soal Data Ganda Penerima Bansos Pemerintah,” “Manipulasi 32 Data PKH, Oknum Penyelewengan Bansos Ditangkap”, dan masih banyak lagi. Miris, bantuan untuk rakyat miskin saja dikorupsi.

Perkara korupsi seperti tanpa solusi di negeri ini. Transparency International Indonesia (TII) baru saja merilis bahwa skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia pada tahun 2022 anjlok menjadi 34 dari 2021 yang mencapai skor 38. Sejajar dengan negara seperti Bosnia-Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal serta Sierra Leone. Di Asia Tenggara jauh tertinggal dengan Malaysia, Timor Leste, dan Vietnam.

Kalau kita mencari beberapa referensi bahwa cara penyelesaiannya secara umum sama, upaya kolaboratif dalam bentuk kerja sama Pemerintah Pusat-Pemda, para pemangku kepentingan dan masyarakat. Namun, ini tidak mudah tanpa kemauan keras semua pihak dan sering terbentur dengan data. Salah satu tantangan perlindungan sosial adalah akurasi data untuk penargetan program yang belum sepenuhnya akurat.

Contoh program inovasi pelayanan yang keren dan layak ditiru adalah SELEDRI (Selesai Dalam Sehari) milik Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Tanpa repot mengurusnya dan tanpa dipungut biaya, atas anak yang baru lahir, petugas persalinan di layanan kesehatan akan memasukkan datanya melalui aplikasi yang sudah disediakan Dinas Dukcapil. Dari data tersebut akan dibuatkan tiga dokumen kependudukan sekaligus dalam sehari (Kartu Identitas Anak, Akte Kelahiran dan pembaruan Kartu Keluarga induk) untuk si jabang bayi. Ketiga dokumen ini merupakan basis data awal yang sangat bagus.

Masalahnya, kalau hanya data saja tentu tidak cukup, tidak bunyi, tanpa diintegrasikan dengan teknologi digital. Misalnya integrasi data pegawai di Kemenkeu, dulu surat harus dicetak dan dikirim lewat jasa pengiriman. Dengan aplikasi Satu Kemenkeu maka sekarang untuk menyurat antarunit di Kemenkeu cukup modal tetikus, gampang dan cepat. Besar sekali penghematannya seandainya semua instansi pemerintah terintegrasi, ini baru dari surat-menyurat.

Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang sedang berlangsung di DJP pada dasarnya juga integrasi data, baik atas data internal maupun eksternal. Bagian dari reformasi perpajakan ini akan merombak proses bisnis dari manual menjadi digital. Saat ini bermacam metode internalisasi dilakukan agar semua pegawai pajak benar-benar memahaminya. Tujuan utamanya untuk kemudahan dan kenyamanan para wajib pajak.

Jikalau cita-cita lama bangsa untuk memiliki nomor identitas tunggal tercapai, permasalahan data pasti beres. Integrasi data akan mempermudah semua urusan dan membuat semua transparan sehingga menutup celah korupsi. Saudara kita yang miskin apalagi miskin ekstrem niscaya sudah tidak ada.

Amerika Serikat, Malaysia, Thailand, Cina, Estonia, dan India adalah beberapa negara yang sudah menggunakan Single Identity Number (SIN). Dengan nama Social Security Number (SSN), Amerika Serikat memakainya untuk masalah pajak dan keamanan sosial. Fungsinya sebagai identitas individu untuk identifikasi jati diri, perlindungan keamanan, jaminan sosial dan seluruh kepentingan layanan publik.

Dalam rangka mewujudkan nomor identitas tunggal ini, DJP lewat UU HPP sudah memulai dengan kebijakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP. Mari kita sukseskan program ini dengan melakukan pemadanan NIK-NPWP dan pemutakhiran data, lanjut lapor SPT di www.pajak.go.id.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

 

Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/data-akurat-yang-terintegrasi-adalah-kunci