Oleh: Anggun Abrina, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“Sejak pandemi, usaha saya bangkrut! Untuk hidup saja sulit. Bapak masih tetap nagih pajak juga? Dasar tidak punya hati!” selarik pesan penuh nada marah masuk ke aplikasi Whatsapp salah seorang rekan saya. Kami memang baru saja mengirim pesan Whatsapp kepada sejumlah wajib pajak yang belum melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan untuk segera melaporkannya.
Rasanya kami sudah memilih kalimat terbaik dalam pesan yang kami kirim tersebut. Sebagai buktinya, banyak wajib pajak yang merespons pesan tersebut dengan ucapan terima kasih karena sudah diingatkan.
Wajib pajak yang marah tersebut barangkali belum mengetahui apa itu SPT dan bagaimana cara pelaporannya. Dalam kondisi sulit, kemampuan berpikir jernih memang cenderung menurun. Emosi sesaat dapat mengalahkan logika. Kami pun menyadari, besar kemungkinan masih banyak wajib pajak lain di negeri ini yang juga belum mengetahui dan memahami akan kewajiban pelaporan SPT.
Tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia dalam melaporkan SPT-nya dapat dikatakan sudah berada pada kondisi yang baik. Dapat disaksikan bahwa hampir setiap tahun menjelang akhir Maret, terjadi fenomena membeludaknya antrean lapor SPT di hampir seluruh Kantor Pelayanan Pajak. Namun, wajib pajak banyak juga yang melaporkan SPT-nya secara daring.
Di tahun 2022, sebanyak 11,16 juta wajib pajak orang pribadi atau telah melaporkan SPT Tahunannya secara tepat waktu sebelum batas akhir pelaporan di tanggal 31 Maret. Angka tersebut setara dengan 67% dari jumlah 17,34 juta wajib pajak orang pribadi yang memiliki kewajiban melaporkan SPT Tahunan.
Hingga penghujung tahun, jumlah wajib pajak orang pribadi yang melaporkan SPT meningkat menjadi sebesar 14,96 juta wajib pajak. Dengan demikian terdapat 3,8 juta wajib pajak (19%) yang melaporkan SPT melewati batas akhir pelaporan dan 2,3 juta wajib pajak (14%) yang tidak melaporkan SPT Tahunannya. Meskipun angka kepatuhan pelaporan SPT sudah baik, Direktorat Jenderal Pajak tetap perlu untuk mengedukasi wajib pajak yang belum maupun terlambat melaporkan SPT Tahunannya.
Berdasarkan pengalaman saya bertatap muka dengan sejumlah wajib pajak, ada beberapa alasan yang menyebabkan wajib pajak tidak melaporkan SPT Tahunannya. Alasan paling sering ditemui adalah wajib pajak tidak mengetahui adanya kewajiban pelaporan SPT.
Biasanya mereka membuat NPWP sekadar untuk melengkapi persyaratan administratif yang diperlukan seperti pengajuan kredit perbankan, transaksi jual beli tanah bangunan, melamar pekerjaan, dan sebagainya. Mereka tidak mengetahui bahwa setelah ber-NPWP terdapat kewajiban untuk melaporkan SPT. Kondisi ini selayaknya dapat diatasi dengan lebih ditingkatkannya kegiatan edukasi bagi wajib pajak.
Selain ketidaktahuan, beberapa wajib pajak ada yang beranggapan bahwa penghasilannya kecil sehingga tidak perlu melaporkan SPT. Padahal bagaimana sistem DJP bisa mengetahui bahwa penghasilannya di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak jika ia tidak “menceritakannya” di SPT. Bagi yang memiliki anggapan serupa, saya sarankan untuk segera melaporkan SPT tahun terakhir dan mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai Wajib Pajak Non Efektif agar tidak lagi memiliki kewajiban pelaporan SPT.
Di waktu yang lain saya pernah berjumpa dengan wajib pajak yang tidak melaporkan SPT-nya dengan alasan pajak sudah diurus oleh kantornya. Kepadanya saya jelaskan bahwa pada dasarnya, kewajiban kantor hanyalah memotong Pajak Penghasilan, menerbitkan dan menyerahkan bukti potong tersebut kepada para pegawainya.
Pengisian dan pelaporan SPT merupakan tanggung jawab masing-masing pegawai karena terdapat beberapa isian pada SPT yang sifatnya pribadi, seperti data anggota keluarga, kepemilikan aset dan hutang. Apalagi jika ada penghasilan lain di luar pekerjaan, tentu saja hanya wajib pajak tersebut yang mengetahuinya.
Pernah pula saya bertemu dengan kawan lama yang enggan melaporkan SPT dengan alasan yang cukup membuat garuk-garuk kepala. Ia mempertanyakan manfaat apa yang bisa ia dapat dengan melaporkan SPT. Saya mengenalnya sebagai orang yang kritis dan filosofis.
Waktu itu saya menjawab, “Melaporkan SPT merupakan kewajiban kita sebagai Warga Negara. Ketika kita lapor SPT tepat waktu kita akan terhindar dari denda keterlambatan pelaporan SPT. Selain itu, beberapa layanan pemerintah seperti pengurusan izin berusaha (OSS) mensyaratkan bahwa pengguna layanannya telah memenuhi kewajiban perpajakan, salah satunya adalah telah terpenuhinya pelaporan SPT dua tahun terakhir.” Nampaknya ia kurang puas dengan jawaban normatif seperti itu.
Mungkin kelak di lain waktu, jika saya berkesempatan berjumpa lagi dengannya maka akan saya sampaikan bahwa mengisi SPT akan melahirkan kepuasan dan kebanggaan tersendiri sebagai anak bangsa yang patuh.
Selain itu, SPT Tahunan dapat kita jadikan sebagai momentum perenungan finansial kita. Sudah sejauh mana pencapaian finansial kita. Biasanya kita akan takjub melihat nominal penghasilan kita yang ditotal selama setahun. “Wow, kalau ditotal setahun ternyata besar juga ya penghasilan kita?” Kemudian kita tersenyum miris ketika mengisi kolom harta yang tidak mengalami pergerakan signifikan. Jadi penghasilan setahun itu kita lari ke mana sajakah?
Sahabat, mumpung belum 31 Maret, ayo sempatkan diri untuk melaporkan SPT Tahunan kita! Jika belum memahami caranya, sesungguhnya petunjuk tentang tata cara pelaporan SPT telah banyak bertebaran di dunia maya. Kalau masih bingung juga, silakan datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak terdekat. Petugas di sana selalu siap memberikan informasi. Yuk bisa Yuk!
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Sumber : https://www.pajak.go.id/id/artikel/punya-npwp-tetapi-tak-lapor-spt-kira-kira-kenapa-ya