Oleh: Raden Sukma Wardana, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.

Kedudukan P3B menurut penjelasan Pasal 32A UU PPh  adalah lex specialis dari UU PPh. Apabila terdapat konflik antara P3B dan hukum domestik, maka P3B-lah yang akan berlaku (tax treaty superceeding domestic tax laws).

Tujuan dari P3B adalah untuk membagi hak pemajakan antara dua negara sehingga P3B tidak memberikan hak pemajakan baru kepada negara yang mengadakan P3B.

Pada dasarnya hak pemajakan dalam P3B (Kurniawan, 2012:45-48) dibagi menjadi tiga yakni Hak Pemajakan Penuh (exclusively taxing rights),Hak Pemajakan terbatas(limited taxing rights), dan Pelepasan Hak pemajakan (relinguished taxing rights). Berikut penjelasan terkait masing-masing hak pemajakan dimaksud :

1. Hak Pemajakan Penuh (Exclusively Taxing Rights)

Dengan hak pemajakan penuh (exclusively taxing rights) suatu negara diberikan hak untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan penduduk negara lainnya yang bersumber dari negaranya sepenuhnya sesuai dengan UU domestik negara tersebut tanpa adanya pembatasan. Dengan demikian tarif pajak dan tata cara pemajakan sepenuhnya tunduk kepada Undang-Undang domestik negara sumber tersebut.

Frasa yang digunakan dalam hak pemajakan terbatas (exclusively taxing rights)  adalah “may be taxed”tanpa adanya tambahan  frasa pengaturan mengenai pembatasan tarif tertentu.

Contoh kasus:

Mr. Albert penduduk negara Perancis memilki sebuah apartemen di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Apartemen tersebut disewakan kepada PT XYZ  yang berkedudukan di Kuningan Jakarta Selatan untuk digunakan oleh salah seorang direksinya. PT XYZ membayar sewa apartemen tersebut sebesar US$20.000,00 per tahun kepada Mr. Albert.

P3B Indonesia – Perancis mengatur bahwa:

Article 6 section (1)  :

“ Income from immovable property including income from agriculture or forestrymay be taxedin the Contracting State in which such property is situated.”

Pasal 6 ayat (1) :

“ Pendapatan dari harta tak gerak, termasuk pendapatan yang diperoleh dari hasil pertanian atau kehutanan dapat dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan di mana harta itu terletak.”

Berdasarkan ketentuan P3B di atas dapat diketahui  bahwa hak pemajakan diberikan kepada Indonesia karena apartemen yang dimiliki Mr. Albert merupakan harta tak gerak yang terletak di Indonesia. Sehingga dengan demikian Indonesia memiliki hak untuk dapat memajaki. Dalam kasus ini ketentuan P3B Indonesia – Perancis tidak mengatur mengenai tarif pajak dan tata cara pemajakannya sehingga tunduk pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan.

Atas Penghasilan sewa apartemen yang diperoleh Mr. Albert terhutang PPh Final Pasal 4 ayat (2). PT XYZ melakukan pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) bagi Wajib Pajak Luar Negeri  dengan memberikan bukti potong PPh (Withholding Tax Receipt Article 26 and Article 4 Section (2) For Non Resident) kepada Mr. Albert, kemudian menyetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan melaporkannya pada SPT Masa PPh Unifikasi paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

2.  Hak Pemajakan Terbatas (Limited Taxing Rights)

Dengan Hak Pemajakan Terbatas (limited taxing rights) negara sumber diberikan hak untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan penduduk negara lainnya yang bersumber dari negara tersebut, namun dengan pembatasan tarif. Dengan demikian apabila tarif pajak menurut UU domestik lebih tinggi dari tarif yang ditentukan dalam P3B maka tarif pajak yang diterapkan adalah tarif pajak menurut ketentuan P3B.

Frasa yang digunakan dalam hak pemajakan terbatas  (limited taxing rights) adalah “ may be taxed”ditambah dengan frasa pengaturan mengenai pembatasan tarif tertentu “….the tax so charged shall not exceed…”

Contoh kasus:

ABC System Inc. Adalah sebuah perusahaan di Korea Selatan memberikan pinjaman US$1.000.000.000,00 kepada PT XYZ yang berkedudukan di Indonesia. Atas pinjaman tersebut PT XYZ diwajibkan membayar bunga pinjaman sebesar US$50.000,00.

P3B Indonesia-Korea Selatan mengatur bahwa:

Article 11 section (1):

Interest arising in a Contracting State and paid to a resident of the other Contracting Statemay be taxedin that other State.

Article 11 section (2):

“ However, such interest may also be taxed in the Contracting State in which it arises and according to the laws of that State, but if the recipient is the beneficial owner of the interestthe taxso chargedshall not exceed10% of the gross amount of the interest.”

Pasal 11 ayat (1):

“ Bunga yang berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan dibayarkan kepada penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut.”

Pasal 11 ayat (2) :

“Namun demikian, bunga itu dapat juga dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan di mana bunga itu berasal dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut akan tetapi apabila penerima bunga adalah pemberi pinjaman yang menikmati bunga itu, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10 persen dari jumlah kotor bunga.”

Dari ketentuan ini dapat diketahui bahwa Indonesia diberikan hak pemajakan namun secara terbatas yaitu tidak melebihi 10% dari jumlah bruto bunga. Secara umum, berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU PPh atas penghasilan bunga yang dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri dipotong pajak sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan. Namun karena pembayaran tersebut kepada ABC System Inc. yang merupakan perusahaan Korea Selatan maka pajak yang dikenakan tidak lebih dari 10%.

Dalam contoh kasus ini PT XYZ akan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan bunga yang dibayarkan kepada ABC System Inc. dengan tarif sebesar 10% dan memberikan bukti potong. Selanjutnya PT XYZ berkewajiban menyetor ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan melaporkannya pada SPT Masa PPh Unifikasi paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

3. Pelepasan Hak Pemajakan (Relinguished Taxing Rights)

Dengan pelepasan hak pemajakan (relinguished taxing rights) suatu negara melepaskan hak pemajakan atas penghasilan yang bersumber dari dari negara tersebut dan merelakan penghasilan tersebut dipajaki negara lainnya.

Frasa yang digunakan untuk pelepasan hak pemajakan  (relinguished taxing rights ) dalam P3B adalah “shall be taxable only”.

Contoh kasus:

Shanghai Airlines Corp. adalah sebuah perusahaan penerbangan yang berkedudukan di Negara China mengoperasikan pesawat terbang dalam jalur lalu lintas internasional, yang melayani rute Shanghai -Jakarta dan Jakarta – Shanghai.

P3B Indonesia-China mengatur bahwa:

Article 8 section (2):

“ Profits from the operation of aircraft in international trafficshall be taxable onlyin the Contracting State of which the enterprise operating the aircraft is a resident. ”

Pasal 8 ayat (2):

“ Laba dari pengoperasian pesawat udara dalam jalur lalu lintas internasional hanya akan dikenakan pajak di Negara Pihak pada Persetujuan di mana perusahaan yang mengoperasikan pesawat udara tersebut berkedudukan.”

Berdasarkan ketentuan P3B maka untuk contoh kasus di atas Indonesia melepaskan hak pemajakan atas penghasilan yang bersumber dari pesawat udara dalam jalur lalu lintas internasional. Penghasilan dari pengoperasian pesawat terbang rute Shanghai  – Jakarta maupun rute Jakarta – Shanghai akan dipajaki di Cina, sehingga Indonesia tidak boleh melakukan pemajakan.

*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

 

Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/lebih-jauh-tentang-pembagian-hak-pemajakan-berdasarkan-p3b