Oleh: Anjar Sukresno, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Salah satu penunjang industri pariwisata adalah jasa perhotelan, termasuk di dalamnya kondotel. Apa itu kondotel? Jika Anda menjawab kondominium itu adalah hotel maka Anda benar, karena kondotel adalah kondominium yang dikelola layaknya sebuah hotel.
Lalu, apa bedanya kondotel dengan hotel? Unit-unit atau kamar pada hotel umumnya dimiliki oleh satu pihak saja, yaitu pemilik hotel itu sendiri. Namun tidak demikian dengan kondotel, unit-unit atau kamar pada kondotel dimiliki oleh investor baik perorangan ataupun badan.
Investor membeli unit kondotel dari pengembang. Kemudian pengembang akan mengelola unit kondotel tersebut, umumnya bekerja sama dengan operator hotel (contoh: Aston International, Accor, Sahid Hotel). Dari sisi pengembalian investasi, investor akan memperoleh imbal hasil tertentu yang berasal dari pengelolaan jasa penginapan kondotel.
Imbal hasil yang diperoleh investor kondotel umumnya berupa guarantee yield dan profit sharing. Guarantee yield atau jaminan pengelolaan hasil diberikan kepada investor dengan nilai tetap dalam waktu tertentu, misalnya sebesar 8% dari harga jual unit kondotel yang diberikan sekali tiap tahun selama 2 tahun.
Sedangkan profit sharing atau bagi hasil umumnya diberikan dengan nilai tidak tetap tergantung dengan tingkat hunian atau okupansi kondotel, misalnya bagi hasil diberikan kepada investor sebesar 50% dari penghasilan unit kondotel selama setahun setelah dikurangi biaya operasional sesuai perjanjian.
Selain mendapatkan imbal hasil, investor akan mendapatkan voucer menginap selama beberapa hari dalam setahun, tentunya dengan kelas kamar yang setara dengan unit kamar yang dimilikinya. Bagaimana bila investor sedang tidak ingin menginap? Tenang saja, voucer ini bisa dijual atau dialihkan kepada pihak lain, jadi tidak terbatas hanya dapat dimanfaatkan oleh investor saja.
Aspek Perpajakan
Pada saat pengembang menjual unit kondotel kepada investor, baik melalui perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) ataupun pengalihan hak melalui akta jual beli (AJB), maka atas penghasilan yang diterima oleh pengembang dari penjualan unit kondotel tersebut dikenakan PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebesar 2,5% dari harga jual.
Sedangkan bagi investor, ketika memperoleh hak atas unit kondotel yaitu saat penandatanganan Akta Jual Beli (AJB) dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) yang menjadi pajak daerah. Tarif BPHTB adalah 5% dari nilai transaksi setelah dikurangi NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak). NJOPTKP sendiri berbeda besarannya di setiap daerah.
Kemudian, imbal hasil yang diberikan kepada investor berupa guarantee yield dan profit sharing dikenakan pemotongan PPh final atas persewaan tanah dan/atau bangunan. Karena secara substansi, perjanjian pengelolaan unit kondotel antara investor dengan pengembang selaku pengelola kondotel merupakan persewaan unit kondotel. Dalam hal ini, pengelola kondotel adalah selaku pihak penyewa dan investor/pemilik kondotel sebagai pihak yang menyewakan.
Pengelola kondotel yang merupakan wajib pajak badan, wajib melakukan pemotongan PPh final atas persewaan tanah dan/atau bangunan. Tarif PPh final tersebut sebesar 10% dari jumlah bruto nilai sewa yaitu sebesar nilai guarantee yield atau profit sharing yang diberikan kepada investor.
Apakah dengan adanya pemotongan PPh final atas imbal hasil berupa guarantee yield dan profit sharing akan merugikan investor orang pribadi? Tentu tidak seperti itu, apabila tidak ada pemotongan PPh final, maka investor orang pribadi akan melaporkan imbal hasil yang diterimanya dalam SPT Tahunan sebagai penghasilan yang dikenakan tarif progresif sesuai ketentuan umum perpajakan.
Pengembang selaku pengelola kondotel akan memperoleh penghasilan dari jasa pelayanan penginapan unit-unit kondotel, lalu apakah perlu dilakukan pemotongan PPh atas persewaan bangunan? Penghasilan atas jasa pelayanan penginapan beserta akomodasinya tidak dilakukan pemotongan PPh final, jadi tidak perlu dilakukan pemotongan PPh. Ketentuan pengecualian tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2017.
Pengembang kondotel umumnya menggandeng operator hotel tertentu untuk menjalankan operasional kondotel. Ketika operator hotel meminta jasa pengelolaan hotel kepada pengembang, maka atas penghasilan yang diberikan kepada dan diterima oleh operator hotel tersebut dikenakan PPh pasal 23. Pengembang wajib melakukan pemotongan PPh pasal 23 atas jasa manajemen sebesar 2% dari nilai imbalan yang diberikan.
Selain dikenakan PPh sebagaimana diuraikan di atas, pengelola kondotel juga berkewajiban melakukan pemotongan atas penghasilan yang merupakan objek pajak penghasilan lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, misalnya PPh Pasal 21 atas penghasilan orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, PPh final pasal 4 ayat 2 atas jasa konstruksi, PPh pasal 23, dan lain sebagainya.
Pajak Pertambahan Nilai
Pengembang yang telah ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), wajib memungut PPN atas penjualan unit kondotel sebesar 11% dari harga jual. Dan apabila harga jual unit kondotel sebesar Rp30 miliar atau lebih, maka pengembang wajib memungut PPN atas Barang Mewah (PPN BM) sebesar 20% dari harga jual. Pengembang wajib menerbitkan faktur pajak dan melaporkannya melalui SPT Masa PPN.
Jasa perhotelan merupakan jasa yang tidak dikenai PPN namun merupakan objek pajak daerah. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 70/PMK.03/2022. Lalu bagaimana dengan kondotel, apakah merupakan objek pajak daerah atau objek PPN?
Penentuan jasa penyewaan unit dan/atau ruangan kondominium dikenakan PPN atau termasuk objek pajak daerah, perlu melihat izin usahanya. Apabila izin usaha yang dimiliki pengelola kondotel adalah jasa perhotelan, maka penghasilan dari kegiatan menyewakan unit dan/atau ruangan kondotel tidak dikenai PPN dan merupakan objek pajak daerah.
Selain jasa penyewaan unit dan/atau ruangan, PPN juga tidak dikenakan atas jasa tambahan dan fasilitas penunjang jasa perhotelan. Jasa tambahan dapat berupa pelayanan kamar (room service), pendingin udara, binatu, kasur tambahan, furnitur, telepon, brankas, internet, televisi satelit/kabel, dan minibar. Sedangkan fasilitas penunjang hotel dapat berupa fasilitas olah raga dan hiburan, fotokopi, teleks, faksimile, dan transportasi hotel.
Namun, apabila pengembang selaku pengelola hotel menyewakan ruangan selain untuk kegiatan acara atau pertemuan, di antaranya untuk anjungan tunai mandiri (ATM), kantor, perbankan, restoran, tempat hiburan, karaoke, apotek, toko retail, dan klinik maka atas penyewaan ruangan tersebut dikenai PPN.
Pengetahuan tentang aspek perpajakan yang baik dapat berguna bagi investor sebelum memutuskan berinvestasi atau bagi pengembang ketika membuat perencanaan bisnis. Pengaturan tentang batasan pengenaan pajak yang jelas antara objek pajak pusat dan pajak daerah akan memberikan kepastian bisnis bagi pengusaha.
Semoga sektor properti dan pariwisata di Indonesia setelah pandemi Covid-19 dapat pulih dengan cepat dan ikut meningkatkan perekonomian Indonesia secara positif.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/investasi-kondotel-dan-perpajakannya