Isu PPN dalam Transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik
Oleh: Dadang Basuni, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang beragam, setiap individu sebagai pelaku ekonomi melakukan pembelian atau tukar menukar barang yang sebanding dengan barang yang dibutuhkan. Selain itu, dapat pula dilakukan dengan cara menyewa dengan mengambil manfaatnya.
Dalam kegiatan bisnis yang lazim terjadi, transaksi perolehan manfaat barang tersebut bisa dilakukan baik dengan cara konvensional melalui sistem leasing atau berdasarkan prinsip syariat melalui sistem ijarah.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1169/KMK.01/1991, diatur bahwa leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
Adapun pengertian hak opsi adalah hak untuk membeli objek sewa guna usaha setelah berakhirnya perjanjian berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama. Jadi secara hukum, leasing terdiri dari dua macam yaitu operating lease dan financial lease.
Dalam operating lease, tidak terjadi perpindahan kepemilikan aset, baik di awal maupun di akhir periode kontrak. Sedangkan financial lease, penyewa diberikan hak memilih (opsi) untuk memiliki atau tidak memiliki barang yang disewa tersebut.
Seiring dengan perkembangan proses bisnis dan kebutuhan manusia yang beragam, pola transaksi yang terjadi mulai menawarkan alternatif pilihan. Tidak hanya yang bersifat konvensional, namun sudah dikenalkan sistem berbasis syariat. Dalam sistem keuangan berbasis syariat ini, financial lease diimplementasikan dalam bentuk Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT).
Perbedaan Prinsip antara IMBTdanFinancialLease
Secara konsep, IMBT hampir sama dengan financial lease yang sudah lebih dulu dipraktikkan dalam dunia keuangan. Prinsip yang membedakan antara IMBT dan financial lease antara lain dapat ditinjau dari aspek penguasaan aset yang dijadikan objek sewa.
Dalam financial lease, nasabah membeli aset dari pemasok dengan dana pembiayaan dari bank/lembaga keuangan dan aset langsung dicatatkan atas nama nasabah. Aset kemudian dikonstruksikan “seolah-olah” milik bank (karena dibeli dengan uang bank) dan bank menyewakannya kepada nasabah.
Sementara dalam IMBT, aset selama masa sewa statusnya menjadi milik bank/LK sebagai muajjir (lessor) dan setelah masa sewa berakhir aset tersebut dapat dipindahtangankan kepada nasabah melalui mekanisme hibah atau jual beli.
Oleh sebab itu, dalam transaksi IMBT tidak diperkenankan membuat perjanjian sewa dan pengalihan aset dalam satu akad/kontrak. Hal ini didasarkan adanya prinsip tertentu yang harus diperhatikan dalam melaksanakan kegiatan usaha, yaitu: kehalalan produk, kemaslahatan bersama, menghindari spekulasi, dan riba.
Kebolehan melakukan transaksi IMBT di Indonesia didasari oleh Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) nomor 27/DSN-MUI/III/2002 yang mempertegas bahwa transaksi melalui skema IMBT terdiri dari dua jenis akad/kontrak. Pertama, akad ijarah (jasa). Kedua, akad pemindahan kepemilikan aset dengan cara hibah atau jual beli.
Pemindahan kepemilikan yang disepakati para pihak dalam akad ijarah hanya bersifat janji (wa’ad) dan hukumnya tidak mengikat. Apabila janji tersebut ingin dilaksanakan, maka harus ada akad/kontrak pemindahan yang dilakukan setelah masa kontrak ijarah selesai.
Tinjauan Aspek Perpajakan
Jika ditinjau kembali konsep IMBT, terdapat dua jenis transaksi penyerahan yang masing-masing memiliki akad/kontrak secara terpisah, yaitu penyerahan jasa (ijarah) dan penyerahan barang pada saat masa ijarah berakhir dengan cara hibah atau jual beli. Berikutnya dapat diajukan pertanyaan, bagaimana perlakuan perpajakan atas transaksi IMBT?
Dari aspek perpajakan, ketentuan yang menyebutkan secara tegas mengenai IMBT terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136/PMK.03/2011 dan PMK Nomor 137/PMK.03/2011. Namun demikian, ketentuan tersebut hanya mengatur perlakuan perpajakan atas transaksi IMBT dalam konteks Pajak Penghasilan. Adapun dari aspek pajak lainnya belum menyebutkan secara tegas mengenai IMBT dimaksud. Misalnya ketentuan mengenai PPN dan/atau PPnBM. Pengaturan yang relevan tidak menyebutkan secara spesifik istilah IMBT melainkan dengan istilah sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease) berdasarkan prinsip syariat.
Dalam perspektif PPN, sewa guna usaha dengan hak opsi termasuk jenis jasa keuangan yang tidak dikenai PPN (nonobjek). Hal ini diatur dalam Pasal 4A ayat (3) huruf d UU PPN beserta penjelasannya, kemudian berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) “dipindah” ke Pasal 16B ayat (1a) huruf j, menjadi objek PPN yang tidak dipungut atau dibebaskan. Secara esensi baik dalam UU PPN maupun perubahannya dalam UU HPP, sama-sama memperlakukan sewa guna usaha dengan hak opsi sebagai objek yang diberikan fasilitas tidak dikenai/bebas PPN.
Untuk menjelaskan bagaimana perlakuan PPN terhadap transaksi IMBT, setidaknya terdapat tiga isu penting yang dapat dijadikan dasar pemikiran. Pertama, IMBT disamakan dengan financial lease sehingga transaksi IMBT tidak dikenai/bebas PPN.
Dasar argumentasi yang pertama ini dapat merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat (3) PMK Nomor 137/PMK.03/2011 yang menyebutkan bahwa kegiatan sewa guna usaha yang dilakukan berdasarkan prinsip Ijarah MuntahiyahBittamlik diperlakukan sama dengan kegiatan sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease).
Sejalan dengan hal tersebut, dapat pula diterapkan ketentuan mengenai jenis jasa keuangan yang dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU PPN untuk transaksi IMBT. Dengan demikian, ketentuan perpajakan tidak lagi memandang perbedaan prinsip antara sewa guna usaha dengan hak opsi berdasarkan sistem konvensional dengan yang berbasis syariat.
Kedua, pembebasan PPN atas transaksi IMBT hanya diberlakukan untuk transaksi jasa (ijarah), sementara pada saat terjadi pemindahan kepemilikan dikenakan PPN atas penyerahan BKP.
Argumentasi yang kedua merujuk pada prinsip IMBT yang memisahkan akad/kontrak antara penyerahan jasa (ijarah) dengan penyerahan barang. Oleh sebab itu, antara satu akad/kontrak dengan yang lainnya merupakan peristiwa hukum yang terpisah, sementara cakupan UU PPN yang memberikan fasilitas pembebasan PPN hanya untuk jasa keuangan berupa jasa pembiayaan berdasarkan prinsip syariat sehingga pada saat terjadi penyerahan/pemindahan kepemilikan, berlaku ketentuan penyerahan secara umum yang menjadi objek PPN.
Ketiga, transaksi IMBT dibebaskan dari pengenaan PPN dengan menggunakan instrumen fasilitas yang berbeda. Isu tersebut dapat muncul apabila diasumsikan pembebasan PPN hanya diberikan atas jasa pembiayaan (ijarah) saja berdasarkan Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU PPN, sehingga atas penyerahan/pemindahan kepemilikan perlu dimasukkan dalam instrumen lain yang mengatur pemberian fasilitas pembebasan PPN.
Misalnya dalam pasal 16B ayat (1) huruf b terkait penyerahan BKP tertentu sepanjang barang yang diserahkan dalam transaksi IMBT memenuhi kriteria BKP tertentu dimaksud. Hal ini penting dilakukan sebagai upaya menjaga persamaan perlakuan (equal threatment) dengan transaksi financial leasing konvensional.
Berkembangnya industri keuangan syariah telah menimbulkan dampak positif bagi masyarakat sebagai pilihan alternatif dalam bertransaksi. Fungsi pajak sebagai regulator berperan penting dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukum. Oleh sebab itu, isu perpajakan dalam transaksi keuangan berbasis syariat akan selalu menarik untuk didiskusikan.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/isu-ppn-dalam-transaksi-ijarah-muntahiya-bittamlik