Dewasa ini, penerapan Good Corporate Governance (GCG) mulai dikenal oleh banyak organisasi, baik organisasi besar maupun menengah, bidang industri, dagang, maupun jasa.
Walaupun ada perbedaan dalam penerapannya, GCG berkaitan dengan penyaluran dari kekuatan dan tanggung jawab, serta konsekuensi dan akuntabilitas pada kinerja dan pencapaian organisasi.
Urich Steger (Profesor Institute for Management Development) dan Wolfgang Amann (Professor HEC Paris di Qatar), dalam buku mereka “Corporate Governance: How to Add Value” menyatakan bahwa GCG membentuk struktur yang jelas terkait akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan transparansi, di tingkat pimpinan perusahaan dan menjelaskan peran para dewan dan manajemen.
Dalam Pedoman Umum Governansi Korporat Indonesia (PUG-KI) 2921, Komite Nasional Kebijakan Governansi (KNKG) menetapkan perubahan lima pilar dalam penerapan GCG, yang sebelumnya dikenal dengan konsep TARIF (Transparency, Accountability, Responsibility, Independency, and Fairness) menjadi empat pilar, yaitu perilaku beretika, akuntabilitas, transparansi, dan keberlanjutan.
Dalam melaksanakan kegiatannya, korporasi senantiasa mengedepankan kejujuran, memperlakukan semua pihak dengan hormat, memenuhi komitmen, membangun serta menjaga nilai-nilai moral dan kepercayaan secara konsisten. Korporasi memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan (fairness) dan dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
Korporasi juga harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu korporasi harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan korporat dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkelanjutan.
Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis, korporasi menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Korporasi mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya.
Korporasi mematuhi peraturan perundang-undangan serta berkomitmen melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan agar berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan melalui kerja sama dengan semua pemangku kepentingan terkait untuk meningkatkan kehidupan mereka dengan cara yang selaras dengan kepentingan bisnis dan agenda pembangunan berkelanjutan.
Dalam konteks perpajakan, keempat pilar tersebut merupakan dasar bagi pengelola korporasi untuk menunjukkan komitmen dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan. Integritas dalam pembuatan laporan keuangan dan pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) misalnya harus menunjukkan independensi dari bagian keuangan atau bagian pembukuan perusahaan dari pengaruh bagian-bagian perusahaan lainnya, direksi, pengawas, dan pihak-pihak internal lain yang mempunyai kepentingan terkait hasil dari laporan keuangan yang disajikan. Kejujuran dalam penyajian isi laporan keuangan akan membantu dewan pengawas atau pemilik saham mengambil keputusan yang tepat terkait masa depan perusahaan.
Akuntabilitas di bidang perpajakan sebagai bentuk pertanggungjawaban korporasi kepada pemangku kepentingan terwujud dalam bentuk antara lain penerbitan bukti pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 kepada para pekerja.
Sebagai salah satu dasar pengisian SPT Tahunan PPh pribadi masing-masing pekerja, para pekerja dapat memastikan kebenaran isi bukti pemotongan tersebut dimulai dari data keluarga, jumlah penghasilan yang diterima, dan nilai yang tercantum dalam bukti pemotongan hingga kebenaran perhitungan pajaknya. Pengisian dan penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi para pekerja perusahaan merupakan suatu cara untuk menguji akuntabilitas pengelola perusahaan.
Dalam penerapannya, pengujian akuntabilitas ini masih mengalami kendala. Salah satu kendalanya berasal dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM) organisasi. Pekerja (termasuk manajemen) cenderung menganggap pengisian dan penyampaian SPT Tahunan PPh sebagai beban dan bukan sebagai bagian dari penerapan konsep GCG.
Kegagalan penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi pekerja menimbulkan potensi adanya biaya-biaya yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Untuk itu, perlu diberikan pemahaman kepada para pekerja mengenai pengaruh penyampaian SPT Tahunan PPh pribadinya terhadap akuntabilitas perusahaan.
Perwujudan transparansi berupa penyampaian informasi-informasi yang berkaitan dengan pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat perlu dipenuhi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan mudah diakses. Dengan berkembangnya teknologi informasi, tidak ada alasan lagi bagi korporasi untuk tidak mengungkapkan berbagai informasi yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan atau kebijakan yang berdampak terhadap para pemangku kepentingan.
Bagi wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan, catatan atas laporan keuangan merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan itu sendiri. Untuk itu, laporan keuangan sebagai lampiran SPT Tahunan PPh perlu disampaikan secara lengkap dan utuh, sehingga dapat membantu otoritas perpajakan dalam memahami bisnis wajib pajak.
Kemampuan korporasi dalam mematuhi peraturan perundang-undangan perpajakan akan membantu penciptaan nilai berkelanjutan jangka panjang. Dengan berkurangnya risiko keuangan akibat ketidaksesuaian praktik bisnis korporasi dengan peraturan yang berlaku akan membantu korporasi menarik modal dan menjaga kepercayaan para pemangku kepentingan di pasar modal dan sektor jasa keuangan. Untuk itu, pelaku governansi perlu memiliki kesadaran untuk memperoleh dan menyampaikan informasi perpajakan yang berkaitan dengan kegiatannya.
Setiap organisasi, seperti manusia, memiliki cara yang unik dalam melakukan apa yang harus mereka lakukan. Penerapan GCG bisa menjadi budaya layaknya budaya yang telah terbentuk dalam suatu komunitas yang tentunya berbeda antara satu sama lain. Budaya ini kemudian diterapkan sebagai budaya organisasi yang berkesinambungan dan bertahan dalam waktu lama.
Pelaku governansi, baik pemerintah maupun pelaku usaha, harus mengevaluasi penerapan GCG secara berkala, sesuai perkembangan zaman dengan tujuan meningkatkan nilai tambah organisasi untuk kepentingan pihak-pihak di dalam organisasi itu sendiri serta memberikan manfaat bagi pihak-pihak di luar organisasi, dalam hal ini pajak yang dihitung dan dibayar, dengan memperhatikan etika bisnis, akuntabilitas, transparansi dan berkelanjutan.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Oleh: Endah Purwaningsih, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/perpajakan-dalam-penerapan-gcg