Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor IMI-0740.GR. 01.01 tahun 2022 tentang Pemberian Visa dan Izin Tinggal Terbatas Rumah Kedua yang diterbitkan pada Selasa 25 Oktober 2022. Dengan kepemilikan visa ini maka pihak yang bersangkutan dalam hal ini Orang Asing Tertentu atau ex-WNI dapat tinggal selama lima atau sepuluh tahun dan dapat melakukan berbagai macam kegiatan, seperti investasi dan kegiatan lainnya.

Second home visa atau visa rumah kedua ini dapat didapat dengan beberapa syarat salah satunya adalah proof of fund. Proof of found dapat berupa rekening milik orang asing atau penjamin dengan nilai minimal dua miliar rupiah atau sekitar US$130.000,00.

Selain itu terdapat kewajiban membayar PNBP untuk visa sebesar tiga juta rupiah sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 9/PMK.02/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Kebutuhan Mendesak atas Pelayanan Keimigrasian yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Kehadiran visa seperti ini tentunya akan menarik kedatangan warga negara asing (WNA) yang memiliki pola hidup sebagai digital nomad. Biaya hidup di Indonesia yang tentunya lebih rendah dibanding negara maju menjadi salah satu aspek yang menjadi pertimbangan khusus para digital nomad. Pandemi juga menambah tren pekerjaan yang bersifat work from anywhere khususnya pada pekerjaan di bidang teknologi yang bisa bersifat remote.

Tentu Indonesia bukan negara pertama yang memberikan visa yang mensyaratkan kepemilikan dana. Setidaknya ada dua negara yang memiliki program serupa dengan second home visa milik Indonesia yakni Kosta Rika dan Meksiko.

Kosta Rika memberikan visa serupa yang popular dengan istilah visa digital nomad kepada WNA yang memiliki penghasilan bulanan sebesar US$3.000,00. atau sebesar US$4.000,00 apabila WNA tersebut mengajak keluarga. Sedangkan Meksiko mewajibkan persyaratan berupa kepemilikan dana sebanyak US$ 43.000,00 di bank untuk dua belas bulan ke belakang, mendapat penghasilan sebesar US$2.595,00 untuk enam bulan ke belakang dengan tambahan US$861,00 per tambahan anggota keluarga, dan memiliki properti di Meksiko dengan nilai minimal US$346.000,00.

Bagi WNA yang mendapat visa digital nomad di Meksiko maka diwajibkan untuk membayar pajak penghasilan di sana. Pengecualian diberlakukan apabila lebih dari 51% penghasilan yang diterima berasal dari luar Meksiko. Adapun dengan kepemilikan visa digital nomad bagi WNA di Kosta Rika maka akan mendapat insentif di bidang perpajakan berupa pembebasan pengenaan pajak penghasilan dan juga pembebasan pajak impor namun pemegang visa ini dilarang untuk bekerja di Kosta Rika.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Kepemilikan second home visa secara otomatis menjadikan pemegangnya sebagai subjek pajak dalam negeri (SPDN). Hal ini dikarenakan pada pasal 2 ayat (3) UU PPh disebutkan bahwa WNA yang tergolong sebagai SPDN adalah WNA yang bertempat tinggal di Indonesia dan dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

PMK Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan  mengatur bahwa niat atau tidaknya WNA untuk bertempat tinggal di Indonesia dapat dibuktikan dengan kepemilikan Visa Izin Tinggal Terbatas dengan masa berlaku lebih dari 183 hari.

Ketentuan keimigrasian sesungguhnya melarang pemegang second home visa untuk menjadi pekerja di Indonesia. Bagi para WNA yang ingin mencari pekerjaan di Indonesia harus mengantongi visa kerja. Aturan ini tidak berlaku untuk pekerjaan yang sumber penghasilannya berasal dari luar Indonesia dan juga tidak membatasi untuk mendapat penghasilan dari aktivitas investasi ataupun penghasilan pasif dari Indonesia.

Meskipun status second home visa tidak mengakomodasi WNA untuk bekerja di dalam negeri namun rezim perpajakan di Indonesia menerapkan sistem worldwide income. Hal ini dapat dilihat pada pada pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menyatakan objek penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari Luar Indonesia. Sehingga WNA yang telah menjadi SPDN tersebut juga wajib melaporkan dan membayar pajak penghasilan atas penghasilan yang mereka terima di luar Indonesia.

Rezim perpajakan Indonesia yang bersifat worldwide income dapat menjadi bersifat teritorial khusus untuk WNA tertentu yang diatur dalam pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh. Bagi WNA yang telah menjadi SPDN namun memiliki keahlian tertentu diberikan fasilitas hanya dikenakan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di Indonesia. Keahlian tertentu tersebut dibuktikan dengan adanya sertifikat keahlian, ijazah pendidikan, dan/atau pengalaman sekurang-kurangnya lima tahun.

Pemerintah Indonesia melalui PMK Nomor 18/PMK.03/2021 membatasi keahlian tertentu tersebut sebanyak 23 jenis pos jabatan antara lain seperti perancang grafis dan multimedia, pengembang perangkat lunak, pemrogaman aplikasi, pengembang web dan multimedia, dan berbagai pos jabatan lain.

Fasilitas pengenaan pajak penghasilan yang bersifat teritorial tersebut hanya dapat dinikmati dalam jangka empat tahun sejak WNA tersebut pertama kali menjadi SPDN. Apabila WNA tersebut meninggalkan Indonesia, jangka waktu empat tahun tetap dihitung sejak WNA tersebut menjadi SPDN. Apabila WNA tersebut memilih untuk memanfaatkan P3B antara Indonesia dan negara mitra atau yurisdiksi mitra tempat WNA memperoleh penghasilan maka fasilitas di atas tidak bisa dimanfaatkan.

WNA yang memilih untuk dikenai pajak penghasilan yang berbasis territorial harus mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat WNA tersebut terdaftar. Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak nantinya akan menerbitkan surat persetujuan atau penolakan atas permohonan tersebut paling lama 10 hari kerja sejak permohonan diterima lengkap.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja

Oleh: Muchamad Irham Fathoni, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/pajak-untuk-pemegang-second-home-visa