Oleh: Debbie Yoshida, MSi., BKP., Dosen FEB Universitas Mercubuana
Lingkungan ekonomi global yang kurang kondusif saat ini dan kecenderungan dimasa datang perlu diwaspadai oleh pemerintah dan dunia usaha, karena akan berimbas pada neraca perdagangan Indonesia. Sektor perdagangan internasional amatlah penting dalam rangka pertumbuhan ekonomi nasional, khususnya ekspor sebagai variabel expansif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Model ekonomi makro menjelaskan semakin besar nilai ekspor akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam era persaingan global yang semakin tajam, upaya untuk meningkatkan ekspor bukan hal yang mudah. Banyak faktor yang mempengaruhinya, pemerintah dan dunia usaha harus lebih meningkatkan sinergitasnya.
Secara alamiah perdagangan internasional selalu terjadi, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain : (a) Adanya perbedaan sumber daya alam di masing-masing negara; (b) Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; (c) Adanya kelebihan produksi disuatu negara; (d) Adanya keinginan untuk bekerjasama antar negara.
Sehingga dapat dipastikan bahwa perdagangan internasional sudah merupakan kebutuhan masing-masing negara didunia ini. Perdagangan internasional juga berdampak positif bagi kemajuan suatu negara, antara lain : (a) Mempererat hubungan diplomatik; (b) Meningkatkan kemakmuran bersama; (c) Membuka lapangan kerja sebagai imbas mata rantai ekonomi ikutannya (trickle down economics), (d) Mendorong kreatifitas, efisiensi dan spesialisasi antar negara, (e) Meningkatkan pendapatan negara dari pajak.
Disamping dampak positif, tentu juga ada berbagai dampak negatif, untuk itulah pemerintah harus melakukan mitigasi risiko atas dampak negatif yang dapat terjadi. Diperlukan berbagai kebijakan yang tepat untuk mengatasinya, antara lain penguatan sistem hukum dan pengawasannya. Perdagangan internasional terdiri dari dua sisi penting yaitu ekspor dan impor barang maupun jasa.
Penulis mencoba menguraikan yang terkait dengan ekspor dan impor atas barang, khususnya dari sisi hukum dan perpajakan yang relevan, hal ini mengingat pentingnya aspek hukum dan pajak dalam pengamanan fiskal nasional. Dunia usaha perlu mengantisipasi implikasi hukum dan pajak terhadap cash flow perusahaan, sebagai dampak transaksi perdagangan internasional yang dilakukannya.
Sistem Ekonomi Terbuka
Perdagangan pada hakekatnya adalah transaksi dagang antara dua pihak, yaitu penjual dan pembeli. Dasar hukumnya adalah kesepakatan yang tunduk pada hukum perjanjian seperti yang diatur dalam KUH Perdata. Mengingat perdagangan internasional dilakukan oleh pelaku usaha antara penjual dan pembeli yang berada pada negara yang berbeda, sehingga mencakup lintas negara. Sistem hukum kedua negara berbeda, mata uangnya pun berbeda dan bahasa juga berbeda, sehingga diperlukan pengaturan khusus yang tunduk pada kaidah-kaidah hukum perdata internasional.
Saat ini dapat dipastikan semua negara terkait dengan sistem ekonomi terbuka, termasuk Indonesia. Dengan demikian peraturan hukum perdagangan internasional amatlah penting. Menurut Schmitthoff, hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya perdata. Hubungan tersebut antara pelaku usaha dimasing-masing negara yang berbeda dengan sistem hukum yang sama sekali berbeda. Alexander Goldstajn menyebutkan terdapat empat prinsip dalam hukum perdagangan internasional, yaitu :
a) Prinsip kebebasan berkontrak, prinsip ini merupakan prinsip universal dalam hukum kontrak apapun, termasuk kontrak dagang.
b) Prinsip Pacta Sunt Servanda, prinsip ini termasuk prinsip yang universal juga, artinya kontrak yang telah disepakati dan ditanda tangani harus dilaksanakan oleh para pihak, dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang mengikatkan diri.
c) Prinsip penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Jika terjadi sengketa antara para pihak, diselesaikan melalui suatu forum. Hal ini sudah umum digunakan sebagai sarana penyelesaian sengketa dagang antara para pihak dalam perdagangan internasional.
d) Prinsip kebebasan komunikasi atau navigasi. Para pihak bebas berkomunikasi dengan berbagai sarana yang ada tanpa ada pembatasan, apalagi saat ini dan kecenderungan dimasa datang sarana komunikasi semakin beragam dan canggih.
Pemahaman aspek hukum perdagangan internasional wajib dipahami dengan baik oleh pelaku usaha yang terkait dengan transaksi tersebut, karena terkait dengan potensi risiko.
Aspek Perpajakan
Ada pajak yang berkaitan dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh), dan ada juga berkaitan dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Penulis hanya membatasi pada pajak yang berkaitan dengan pihak DJP, karena diperlukan penanganan khusus sebagai imbas kemungkinan terjadinya restitusi. Dalam transaksi impor barang yang dilakukan oleh perusahaan dalam negeri, maka Wajib Pajak akan dipungut Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22. Adapun pihak yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai pemungut PPh pasal 22 adalah Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas :
1)Impor barang dan (2)Ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam dan mineral bukan logam yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dan kontrak kerja
PPh pasal 22 yang dipungut terhadap Wajib Pajak diperlakukan sebagai pajak dibayar dimuka dan pada akhir tahun buku dapat dikreditkan terhadap PPh terutang akhir tahun. Dengan demikian pembukuan dan pengadministrasian bukti pungut PPh pasal 22 perlu mendapat perhatian oleh manajemen perusahaan. Dengan demikian PPh pasal 22 merupakan pajak perusahaan (corporate tax), yang pembayaran dilakukan dimuka, yang secara akuntansi merupakan aset lancar perusahaan. Perusahaan yang melakukan ekspor dan impor juga terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Untuk PPN yang dikenakan adalah ekspor dan impor atas Barang Kena Pajak (BKP)
a) Bagi transaksi ekspor PPN-nya dikenakan dengan tarif 0 (nol) persen; (b)Bagi transaksi impor PPN-nya dikenakan dengan tarif 11 (sebelas) persen. Tarif tersebut dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dari barang yang diekspor atau diimpor.
DPP atas ekspor adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. Sedangkan untuk impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur kepabeaan dan cukai untuk impor barang kena pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas barang mewah yang dipungut menurut UU PPN.
Pada akhir masa (bulan) dilakukan perhitungan dengan menjumlahkan semua PPN keluaran, yaitu PPN yang dipungut oleh perusahaan dari transaksi penyerahan atau penjualan atas barang kena pajak dikurangkan dengan semua PPN masukan, yaitu PPN yang dibayar oleh perusahaan atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak selama masa tersebut. Hasil pengurangannya dapat lebih bayar dimana total PPN masukannya lebih besar dari pada PPN keluaran dan sebaliknya bisa juga menjadi kurang bayar, sehingga Wajib Pajak melakukan penyetoran ke Bank Persepsi. Dengan demikian dapat dipastikan pada perusahaan yang seratus persen kegiatan usahanya ekspor, maka akan selalu mengalami lebih bayar setiap masanya.
Secara konsepsional PPN adalah pajak atas konsumsi barang atau jasa didalam daerah pabean. Jika kita mengekspor BKP, artinya BKP tersebut dikonsumsi diluar daerah pabean dalam hal ini di luar Indonesia. Oleh sebab itu Pasal 7 ayat 2 UU PPN mengatur bahan tarif PPN atas ekspor adalah nol persen, bukan karena kita mengekspor tidak dikenakan pajak, dalam rangka mendorong ekspor yang selama ini umumnya publik memahaminya demikian.
Sumber : https://www.neraca.co.id/article/170780/aspek-hukum-dan-pajak-atas-perdagangan-internasional