PajakOnline.com—Wajib Pajak harus mengisi formulir untuk melakukan pembayaran dan penyetoran pajak berupa Surat Setoran Pajak (SSP) dan Setoran Elektronik (SSE). Kami akan menjelaskan perbedaannya.
Bersumber penjelasan DJP, SSP atau Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak dengan menggunakan formulir atau dengan cara lain ke kas negara, melalui tempat pembayaran seperti kantor pos, Bank Badan Usaha Milik Negara, Bank Badan Usaha Milik Daerah, dan lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Peraturan yang menerangkan seputar SSP bisa Anda lihat lebih lanjut melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2021. Aturan ini mengubah beberapa ketentuan yang diatur dalam aturan PER-09PJ/2020 tentang bentuk, isi, dan tata cara pengisian Surat Setoran Pajak.
Dalam prosesnya, Anda diharuskan mengisi SSP terlebih dahulu dan membawanya ke bank atau kantor pos sebelum membayar pajak. Tentunya, SSP sangat penting keberadaannya karena berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak.
Dengan begitu, fungsi utama SSP adalah sebagai bukti utama dan sarana administrasi bagi Wajib pajak yang sudah melakukan pembayaran pajak sesuai aturan yang berlaku.
Bagi Wajib Pajak yang telah menyelesaikan kewajiban perpajakannya, akan mendapat bukti pembayaran pajak yang telah disahkan atau telah mendapat validasi dari pejabat kantor atau pihak lainnya yang memiliki kewenangan. Dengan begitu, hal yang patut Anda ingat dan periksa kembali saat menerima SSP adalah pengesahan oleh pejabat kantor penerima pembayaran atau validasi pembayaran.
Setiap SSP hanya bisa digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran untuk satu jenis pajak, satu masa atau tahun pajak, satu Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan PBB, Surat Tagihan PBB, atau satu surat keputusan atas upaya hukum yang mengakibatkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. Kemudian, setiap penyampaian SSP harus menggunakan satu kode akun pajak dan satu jenis setoran pajak.
Dalam aturan terbaru, DJP mengubah daftar kode akun dan kode jenis pajak, supaya kode akun maupun kode jenis pajak sesuai dengan perkembangan aturan di bidang perpajakan.
Dalam aturan itu pula, DJP mengakomodasi tata cara pengisian SSP melalui aplikasi billing yang dimiliki DJP atau yang dikenal dengan Surat Setoran Elektronik (SSE) atau e-Billing, maupun sistem penerbitan kode billing lainnya yang terintegrasi dengan sistem billing DJP.
Sementara dalam ketentuan yang lama, mekanisme penyampaian SSP melalui billing system tersebut tidak diatur. Namun, sejatinya tidak ada perbedaan antara SSP, SSE, atau e-Billing. Ketiganya sama merupakan surat atau formulir yang digunakan untuk membayar pajak.
Namun, SSP identik dengan proses pembayaran pajak secara manual, padahal DJP telah memperkenalkan SSE Pajak atau e-Billing pajak sejak 2016 silam. Pada era Modul Penerimaan Negara Generasi 2 (MPN G2) saat ini, SSP pajak sudah tidak lagi digunakan sebagai alat pembayaran pajak karena diganti dengan menggunakan SSE sebagai hasil perkembangan teknologi informasi DJP.
Adapun SSE diadministrasikan oleh Biller DJP dengan menerbitkan billing system. Dengan sistem yang semakin terpadu ini, Wajib Pajak diharapkan bisa semakin meminimalkan kesalahan yang terjadi. SSE akan menerbitkan kode billing atau ID billing pajak untuk berbagai kode akun pajak dan kode jenis setoran.
Kode inilah yang bakal digunakan sebagai identitas utama pembayaran pajak yang akan dilakukan. Dengan demikian, Wajib Pajak Badan maupun Orang Pribadi bisa menggunakannya untuk membayar pajak secara online maupun melalui bank.
Dalam sistem perpajakan di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan beberapa jenis SSP yang bisa digunakan Wajib Pajak sesuai dengan peruntukannya.
Pertama, SSP Standar. SSP ini bisa digunakan saat Anda melakukan kewajibannya ke kantor penerima pembayaran. Setiap satu set SSP Standar memiliki lima rangkap salinan.
Lembar pertama ditujukan kepada Wajib Pajak dan dipergunakan sebagai arsip.
Lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang diberikan melewati Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN).
Lembar ketiga akan digunakan Wajib Pajak saat melapor ke KPP.
Lembar keempat akan diberikan untuk Kantor Penerima Pembayaran.
Dan lembar kelima akan dipergunakan sebagai arsip Wajib Pungut (wapu) atau pihak berwenang lainnya yang telah diatur dalam undang-undang perpajakan.
Kedua, SSP Khusus. Surat ini memiliki fungsi seperti SSP Standar dalam administrasi perpajakan dan menjadi bukti pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran, menggunakan mesin transaksi yang telah ditetapkan atau diatur oleh pemerintah.
SSP Khusus ini hanya dapat dicetak saat terjadi transaksi pembayaran sebanyak dua lembar—lembar pertama memiliki fungsi yang sama dengan lembar ke-1 dan lembar ke-3 SSP Standar.
SSP ini juga dapat dicetak secara terpisah untuk dipergunakan dengan lembar ke-2 SSP Standar, serta diteruskan kepada KPPN sebagai lampiran Daftar Nominatif Penerimaan (DNP).
Ketiga, Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak (Impor). SSP jenis ini dibuat untuk usaha yang mengimpor barang (importir) dan dibuat dalam enam rangkap untuk diberikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yakni untuk penyetor, KPPBC (Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai) melewati Penyetor, KPBC melalui KPPN, KPP melalui KPPN, KPP melalui Penyetor, dan untuk Bank Persepsi atau Pos Indonesia.
Keempat, Surat Setoran Cukai Terkait Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau Buatan dalam Negeri (SSCP). Surat jenis ini berbeda dengan surat lainnya, dan berlaku bagi pengusaha untuk cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN hasil tembakau buatan dalam negeri.
SSCP Akan dibuat dalam enam rangkap dan diberikan kepada yang berwenang yakni Wajib Pajak alias Penyetor, KPBC yang diberikan melalui Penyetor, KPBC melewati KPPN, KPP melalui KPPN, KPP melewati Wajib Pajak, dan untuk Bank Persepsi atau PT Pos Indonesia.
Sumber : https://www.pajakonline.com/perbedaan-surat-setoran-pajak-dengan-surat-setoran-elektronik/