Oleh: I Gede Suryantara, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Suatu perusahaan akan berkembang karena ditopang oleh kinerja para karyawannya. Karyawan dengan kinerja baik tentunya akan sangat berpengaruh bagi keberlangsungan  perusahaan. Imbal balik yang diberikan perusahaan kepada karyawan pada umumnya berupa gaji dan tunjangan rutin. Ada juga pemberian pada karyawan selain gaji dan tunjangan rutin, berupa fasilitas yaitu kenikmatan tambahan, seperti paket liburan, hadiah kendaraan, bonus properti, uang tunai, kendaraan kerja, dan sebagainya.

Pemberian fasilitas dalam bentuk nontunai tersebut terindikasi tidak tercantum sebagai tambahan kemampuan ekonomis dalam Surat Pemberitahuan (SPT) karena tidak menjadi bagian dari penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP). Sebagai contoh, pemilik banyak perusahaan namun yang bersangkutan tidak menerima gaji, melainkan mendapatkan fasilitas dari perusahaan dalam bentuk lain seperti rumah, kendaraan, dan lainnya.

Seiring dengan berjalannya waktu, pola pemberian fasilitas ini banyak terjadi dan hal ini tentunya menjadi perhatian tersendiri terkait kewajiban perpajakan. Ditengarai hal ini dijadikan cara menghindari tarif progresif menurut Pasal 17  Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Daripada dikenakan tarif tertinggi Pajak Penghasilan (PPh) WP OP, lebih baik dikenakan PPh WP Badan yang tarifnya hanya 22%. Indikasi penghindaran pajak dengan pola pemberian fasilitas tersebut memang perlu diatur lebih lanjut sesuai perkembangan yang ada.

Pada tahun 2021, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disusun dengan tujuan antara lain meningkatkan pertumbuhan perekonomian berkelanjutan melalui peningkatan basis perpajakan, menciptakan sistem perpajakan yang mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum, serta meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak. Salah satu hal yang diatur adalah berkaitan dengan pengenaan PPh atas kenikmatan nontunai sebagai salah satu peningkatan basis perpajakan dan menegakkan keadilan.

Berkaitan dengan pemberian kenikmatan nontunai, selanjutnya disebut natura, ketentuan mengenai natura sudah diatur dalam UU PPh. Secara umum berdasarkan Pasal 4 ayat (3d) UU PPh, natura bukanlah objek PPh, namun ada beberapa pengecualian tertentu yang menjadikan jenis imbalan ini menjadi objek PPh sehingga dikenakan pajak. Pengecualian ini terjadi jika imbalan ini diberikan bukan oleh wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final, atau wajib pajak yang menggunakan norma perhitungan khusus yang dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh. Berdasarkan Pasal 9 ayat 1e UU PPh, penggantian imbalan berhubungan dengan pekerjaan/jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan tidak dapat menjadi pengurang atas penghasilan bruto dari pemberi kerja (non deductible expense).

Selanjutnya dengan memperhatikan Pasal 4 ayat (1) UU PPh seiring dengan berlakunya UU HPP, dinyatakan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Becermin dari ketentuan ini maka setiap tambahan penghasilan dalam bentuk apa pun seharusnya dilaporkan dalam SPT. Dan hal ini tentunya termasuk pemberian dalam bentuk natura agar kewajiban PPh yang harus dipenuhi dapat mencerminkan kemampuan ekonomis seseorang.

Namun ada beberapa hal yang dipandang sebagai kepatutan terhadap pemberian natura yang memang tidak perlu dikenakan PPh. Kepatutan ini berkaitan dengan pemanfaatan fasilitas perusahaan atau organisasi yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi seorang karyawan dalam perusahaan atau organisasi tersebut, yang selanjutnya perlu diatur dalam ketentuan teknis.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pajak natura tidak berarti berlaku untuk seluruh fasilitas kantor. Karyawan tertentu dengan fasilitas fantastis menjadi sasaran yang akan dikenai pajak natura. Karyawan biasa yang hanya menerima fasilitas laptop kantor atau kendaraan dinas tentunya tidak dikenai pajak natura. Dengan berlakunya penerapan pajak natura, pemberian natura tersebut selanjutnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam perhitungan PPh Badan. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemberian natura seperti paket liburan, hadiah kendaraan, atau bonus properti diberlakukan sebagai objek PPh dan diharapkan pengenaan pajak menjadi semakin adil dan semakin memberikan kepastian hukum.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

 

Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/siapa-bilang-natura-tidak-kena-pajak