IMF menyebut, resesi ekonomi adalah penurunan Produk Domestik Bruto (PDB),  yaitu semua nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara secara riil (disesuaikan dengan inflasi), selama dua kuartal berturut-turut.

Laporan Interim Prospek Ekonomi OECD September 2022 menyebut kondisi ini sebagai harga yang harus dibayar akibat perang. Dalam laporan tersebut, pertumbuhan ekonomi global pada 2023 diproyeksikan jauh melemah dari antisipasi awal. Gejolak inflasi mereda dibandingkan 2022, namun masih bertengger pada level yang tinggi. Resesi semakin meluas dan dikhawatirkan semakin memperburuk upaya pemulihan. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Dilansir dari pernyataan Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, pelemahan akan terjadi namun tidak signifikan. Rilis Bank Dunia Oktober 2022 menyebut pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2023 masih setara dengan tahun 2022 pada angka 5,1%. Meski demikian, langkah preventif terus diupayakan untuk mengantisipasi kemungkinan risiko guncangan. Sebagai presidensi G20 tahun ini, Indonesia mengajak negara-negara ekonomi terbesar dunia untuk merumuskan solusi global dalam rangka menahan gempuran krisis.

Upaya dilakukan Indonesia  untuk meredam krisis, diantaranya dengan ‘menyehatkan’Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagai instrumen stabilisasi atau shock absorber, APBN justru mencetak sejarah pada 2023. Pada Rancangan Undang-Undang APBN 2023 pendapatan negara dirancang sebesar Rp2.463 triliun dengan belanja negara pun mencetak rekor dengan nilai mencapai Rp3.061,2 triliun. Penerimaan pajak direncanakan sebesar Rp2.021,2 triliun. Secara historis, ini kali pertama target penerimaan pajak dicanangkan melampaui Rp2.000 triliun. Mengingat pajak sebagai kontributor utama APBN, pengamanan penerimaan pajak menjadi tajuk utama.

Optimisme dan Strategi Pajak

Kilas balik pada 2021 lalu, akhirnya pajak berhasil melampaui 100% dari target yang telah ditetapkan, setelah lebih dari satu dekade selalu meleset. Prestasi ini menjadi tonggak penting dalam proses reformasi pajak yang tengah berjalan. Sekaligus sinyal positif akan optimisme capaian di tahun-tahun berikutnya.

Berikut adalah asumsi resiliensi penerimaan pajak di tengah ramalan turbulensi ekonomi pada 2023. Pertama, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tetap tumbuh karena tingkat inflasi terkendali. OECD memproyeksikan bahwa tingkat inflasi Indonesia pada 2023 sebesar 3,94% (tahun per tahun). Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan tingkat inflasi ekstrem negara G20 lainnya seperti Turki (40,84%) dan Argentina (83%).

Hakikatnya, inflasi merupakan efek samping pemulihan ekonomi yang akan berpengaruh langsung terhadap penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dan PPN. Dalam kondisi inflasi tinggi, rumah tangga menahan belanja akibat kenaikan harga barang. Sementara, kenaikan harga tidak diimbangi peningkatan pendapatan masyarakat. Bahkan, perusahaan mengambil keputusan untuk melakukan penghematan dengan mengurangi jumlah karyawan. Akibatnya, permintaan pasar menurun sementara tingkat pengangguran meningkat.

Faktanya, inflasi berkorelasi positif dan signifikan terhadap penerimaan PPN  sebagai pajak atas konsumsi (Renata et al., 2016). Sayangnya, fakta tersebut paradoks dengan kenaikan PPh sebagai pajak atas penghasilan individu maupun korporasi. Padahal, jika ditilik dari kontribusi penerimaan pajak dalam APBN, PPh menyumbang kontribusi terbesar pertama dan PPN kedua.

Bicara dalam kondisi normal di saat tingkat inflasi terjaga, penerimaan pajak akan cenderung lebih ‘aman’. Kewaspadaan otoritas pajak akan fluktuasi ekonomi setidaknya telah diantisipasi dengan reformasi pajak.

Reformasi pilar peraturan perpajakan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah berimplikasi pada tingkat penerimaan pajak. Penyesuaian tarif PPN dari 10% menjadi 11% sejak 1 April 2022 terbukti menaikkan jumlah penerimaan PPN secara signifikan. Hingga Agustus 2022, penerimaan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) telah mencapai Rp441,6 triliun, meningkat dibandingkan pada masa yang sama tahun 2021 senilai Rp302,8 triliun (Kemenkeu RI, 2022).  Kebijakan ini menguatkan konsepsi PPN sebagai money maker.

DJP telah merilis pendapatan PPN dari sejumlah sektor yang berkaitan erat dengan ekonomi digital. PPN atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar Rp8,17 triliun dan PPN atas transaksi kripto mencapai Rp65,99 miliar. Prospek ekonomi digital di Indonesia diperkirakan masih sangat potensial pada 2023. Artinya, otoritas pajak harus dapat mendulang potensi ini dengan secermat mungkin.

Strategi yang dapat diformulasikan adalah dengan mengintensifkan ekstensifikasi pajak berbasis penguasaan wilayah dengan mencakup transaksi ekonomi digital. Penyisiran aneka platform lokapasar, situs, hingga sosial media suatu merek usaha dapat menjadi opsi. Penggalian potensi ini niscaya memperluas basis data perpajakan serta menjadi sumber penambahan jumlah pengusaha yang dapat dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Kedua, peningkatan PPh dari penghasilan bruto tertentu Wajib Pajak Orang Pribadi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Laksana pajak sebagai tulang punggung APBN, UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Histori mencatat, UMKM memiliki daya tahan yang teruji dalam kondisi krisis ekonomi pada 1997. Selain proporsi kuantitas mencapai 99% dari total unit usaha di Indonesia, UMKM juga menyumbang lebih dari 60% PDB Indonesia. Apalagi, hingga Juni 2022 sebanyak 19,5 juta pelaku UMKM telah merambah ekosistem digital alias go online (Kemenkop UKM, 2022).

Mengedepankan asas keadilan, UU HPP telah mengakomodasi penerapan batasan tidak kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM. Pasal 7 ayat 2a Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengatur bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, tidak dikenai PPh atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak.

Ini adalah bentuk humanisme pajak yang secara eksplisit membantu UMKM untuk ‘naik kelas’. Dengan keringanan ini, wajib pajak dapat meningkatkan arus kas untuk permodalan dan ekspansi usaha yang secara makro akan berdampak pada PDB nasional.

Prioritas penghimpunan PPh final dapat difokuskan pada UKM dengan penghasilan di atas Rp500 juta sampai dengan Rp4,8 miliar rupiah. Jika “level playing field” yang sama diterapkan antara UKM konvensional dan UKM di ekosistem digital, maka penjaringan PPh final dapat dimaksimalkan. Dalam hal ini, kesadaran sukarela tentang  kewajiban perpajakan UKM harus menjadi urgensi edukasi otoritas pajak.

Ketiga, PPh dari sektor Gig Economy dan para orang kaya baru. Gig economy telah menjadi fenomena yang banyak mencetak orang kaya baru. Pakar memprediksikan bahwa pada tahun-tahun ke depan potensi di sektor ini masih sangat menjanjikan. Setiap harinya, muncul para pemengaruh (influencer) baru yang berjaya di berbagai laman sosial media. Para Youtuber juga sebagai artis, selebgram sekaligus dokter atau pengacara, atau Tiktoker merangkap konsultan dan pembicara bisa mengantongi penghasilan ratusan juta per bulannya.

UU PPh telah menyesuaikan bracket atau lapisan tarif proporsional pengenaan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi. Semula lapisan tarif tertinggi adalah 30% untuk penghasilan mencapai di atas Rp500 juta hingga tak terhingga pada suatu tahun pajak. Kini berubah, tarif 30% untuk penghasilan Rp500 juta hingga Rp5 miliar, sedangkan lapisan tarif tertinggi menjadi 35% untuk penghasilan di atas Rp5 miliar rupiah.

Penambahan para pekerja bebas atau pelaku kerja mandiri ini secara jumlah akan terus meningkat. Maknanya, penambahan potensi PPh Wajib Pajak Orang Pribadi juga terbuka lebar seiring dengan akselerasi era digital. Pemetaan dan analisis data sebagai sasaran ekstensifikasi menjadi krusial. Menyediakan sarana tertentu untuk melibatkan warganet sebagai kontributor data dan informasi pun bisa menjadi kajian menarik bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Sebagai penutup, optimisme jualah yang menjadi jurus untuk menghadapi situasi yang tak terkendali. Sudah terbukti, dengan gotong royong Indonesia mampu melalui badai pandemi. Penulis meyakini, pun pajak akan tahan banting, itu pasti.

 

Oleh: Ika Hapsari, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

 

Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/nasib-pajak-dalam-bayang-bayang-resesi-2023