Sejak pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) melanda di awal 2020 hampir sebagian besar jemaah umrah Indonesia membatalkan rencana perjalanan ibadah umrah.
Hal ini berdampak negatif pada keberlangsungan bisnis perjalanan ibadah haji dan umrah. Saat itu pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan mobilitas. Pemerintah Arab Saudi menghentikan untuk sementara penyelenggaraan ibadah umrah sejak 27 Februari 2020.
Seiring dengan menurunnya angka penderita Covid-19 yang membuat mobilitas kembali normal maka sebagian orang mulai kembali melakukan perjalanan keluar negeri, antara lain dalam rangka melakasanakan ibadah umrah dan juga mengunjungi negara lain.
Hal ini membuat pengusaha bisnis perjalanan ibadah haji dan umrah mulai menggeliat lagi setelah lama mati suri ditimpa efek pandemi Covid-19. Peminat ibadah umrah dari tahun ke tahun semakin meningkat sejalan dengan antrean haji yang semakin panjang.
Berdasarkan data Kementerian Agama, jumlah jemaah umrah Indonesia dalam kurun waktu 2014-2015 berjumlah 649.000, meningkat di tahun 2015-2016 sebanyak 677.509, naik lagi di 2016-2017 yaitu 876.246, kemudian melonjak signifikan di tahun 2017-2018 mencapai 1.005.336, dan menurun sedikit di tahun 2018-2019 menjadi 974.650 jamaah.
Setelah dua tahun (2020-2021) absen karena pandemi Covid-19, jemaah umrah kembali berbondong-bondong melaksanakan ibadah umrah ke Masjidil Haram pada 8 Januari 2022. Jumlah total jemaah umrah di Bandara Soekarno-Hatta yang berangkat tercatat sekitar 340.000 orang sampai dengan 24 Mei 2022.
Merujuk pada laporan Kementerian Agama, kuota haji Indonesia tahun 2022 berjumlah 100.051 dengan rincian kuota haji khusus 7.226 dan kuota haji reguler 92.825. Kuota haji kembali diperoleh setelah dua tahun ibadah haji tidak dilaksanakan karena pandemi Covid-19.
Kriteria Jasa Keagamaan yang Tidak Kena PPN
Pemerintah memberikan kepastian hukum pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa penyelenggaraan kegiatan ibadah haji dan umrah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92/PMK.03/2020 tentang Kriteria dan/atau Rincian Jasa Keagamaan yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilaipada 22 Juli 2020 antara lain, pertama, jenis jasa yang tidak dikenai PPN adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa keagamaan.
Kedua, jasa keagamaan yang tidak dikenai PPN meliputi jasa pelayanan rumah ibadah, jasa pemberian khotbah atau dakwah, jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan, dan
jasa lainnya di bidang keagamaan
Ketiga, jasa lainnya di bidang keagamaan yang tidak dikenai PPN antara lain jasa penyelenggaraan ibadah haji reguler dan jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah oleh pemerintah ke Kota Makkah dan Kota Madinah, dan jasa penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dan/atau penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah oleh biro perjalanan wisata ke Kota Makkah dan Kota Madinah.
Keempat, dalam hal jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah keagamaan tersebut juga menyelenggarakan perjalanan ke tempat lain, bukan dalam rangka transit baik tercantum atau tidak tercantum dalam penawaran jasa penyelenggaraan perjalanan, jasa tersebut dikenai PPN.
Kelima, pajak masukan sehubungan dengan penyerahan jasa penyelenggaraan perjalanan ke tempat lain tidak dapat dikreditkan.
PPN atas Haji dan Umrah
Merujuk ketentuan pada Pasal 4A Ayat (3) huruf f Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, jasa keagamaan merupakan salah satu jasa yang tidak dikenai PPN.
Berdasarkan penjelasan Pasal 4A ayat (3) huruf f, yang termasuk jasa keagamaan meliputi jasa pelayanan rumah ibadah, jasa pemberian khotbah atau dakwah, jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan dan jasa lainnya di bidang keagamaan.
Terkait pengenaan tarif PPN 11% dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tersebut, pemerintah kemudian menerbitkan empat belas aturan turunan berupa PMK, di antaranya adalah PMK Nomor 71/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu. Beleid ini mulai berlaku pada 1 April 2022.
Tarif yang berlaku adalah 1,1% x Harga Jual paket penyelenggaraan perjalanan ke tempat lain, jika tagihannya dirinci antara paket haji dan umrah dan tagihan paket perjalanan ke negara lain. Sedangkan jika tagihannya tidak dirinci antara paket haji dan umrah dan tagihan paket perjalanan ke negara lain tarifnya adalah 0,55% x Harga Jual keseluruhan paket.
Sebagai ilustrasi, biro perjalanan wisata menawarkan paket umrah plus Turki selama 14 hari dengan harga paket sebesar Rp35.000.000,00. Tidak ada perincian antara tagihan harga paket umrah dan harga tagihan paket perjalanan ke Turki sehingga penghitungan PPN-nya adalah sebagai berikut.
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) =Rp35.000.000,00
PPN : 0,55% x Rp35.000.000,00 =Rp192.500,00.
Dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah haji dan umrah tidak kena PPN namun jika jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah haji dan umrah juga menyelenggarakan perjalanan ke tempat lain seperti perjalanan wisata ke Turki, Mesir, dan negara lainnya, jasa tersebut kena PPN.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam memungut dan menyetorkan PPN yang terutang dengan besaran tertentu harus merinci tagihan antara paket haji dan umrah dan tagihan paket perjalanan ke tempat lain sehingga penghitungan PPN hanya dari tagihan paket perjalanan ke tempat lain.
Pengecualian pengenaan PPN atas ibadah haji dan umrah juga diharapkan dapat mendukung perkembangan bisnis perjalanan ibadah haji dan umrah. Pengecualian pengenaan PPN ini dapat menekan harga paket perjalanan ibadah haji dan umrah. Harga paket umrah yang terjangkau dapat menumbuhkan minat masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah.
Sedangkan pengenaan PPN atas jasa perjalanan wisata ke tempat lain disamping melaksanakan haji dan umrah, memberikan kemudahan dan keadilan dalam berkontribusi untuk penerimaan negara.
Oleh: Awaliyah, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel-page/