Pengusaha Kena Pajak, yang selanjutnya disebut sebagai PKP, merupakan istilah yang tidak asing bagi dunia bisnis.

PKP dikukuhkan bagi wajib pajak yang memiliki omzet di atas Rp4,8 miliar. Namun cukup sering PKP dijadikan syarat bagi lawan atau rekan bisnis, sehingga wajib pajak akan mengajukan permohonan PKP, meski belum memiliki omzet di atas 4Rp,8 miliar tersebut.

Di lain hal, istilah PKP akan menjadi asing ketika dihubungkan dengan istilah Pajak Pertambahan Nilai, Faktur Pajak, Pajak Masukan, Pajak Keluaran, Sertifikat Elektronik, dan istilah lainnya.

Masih banyak PKP yang belum memahami kewajiban yang melekat dan tindakan apa yang seharusnya dilakukan setelah memiliki status PKP. Ini didasari oleh pengalaman pribadi penulis selama memberikan layanan konsultasi perpajakan di helpdesk.

Sembilan dari sepuluh wajib pajak PKP yang berkonsultasi menunjukkan indikasi bahwa mereka belum memahami secara utuh peran dan tanggung jawab PKP. Padahal, jelas di dalam Pasal 3A Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai menyebutkan bahwa Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang. 

 

Peran Besar dan Tanggung Jawab PKP

Wajib pajak yang sudah dikukuhkan sebagai PKP memiliki atau memperoleh dampak yang sangat signifikan dibandingkan pada saat sebelum dikukuhkan. Dari awalnya yang bukan PKP, maka wajib pajak nonPKP setidaknya memiliki kewajiban melaporkan SPT Tahunan, setahun sekali. Setelah berstatus PKP, wajib pajak harus cepat-cepat menyadari bahwa PKP bukan sekedar syarat prasyarat transaksi. PKP sangat mungkin memiliki peran besar bagi negara. PKP juga bisa mendapatkan risiko besar apabila mengabaikan kewajibannya.

PKP membantu penerimaan negara dari sektor Pajak Pertambahan Nilai atau PPN karena PPN merupakan jenis pajak yang terbesar menyumbang penerimaan negara sampai saat ini, setelah sektor Pajak Penghasilan (PPh). Selama tiga tahun terakhir, penerimaan pajak dari sektor PPN hampir menyaingi penerimaan sektor PPh. Realisasi PPN mencapai Rp300triliun selama semester I/2022 atau sekitar 47% dari target penerimaan PPN untuk tahun 2022.

Di samping itu, PKP sesungguhnya diberikan tugas rutin melaporkan SPT Masa PPN setiap bulannya menggunakan aplikasi yang telah disediakan. Tentu dalam pelaksanaannya sering ditemukan kendala, baik dari sisi penerapan ketentuan perundang-undangan maupun sisi teknis aplikasi. Di sinilah penulis menggarisbawahi, bahwa wajib pajak yang sudah berstatus PKP sangat disarankan untuk lebih peduli dengan kewajibannya itu.

PKP merupakan pemungut PPN pada setiap transaksi yang terutang PPN. Pemungutan PPN ini dilakukan dengan menerbitkan Faktur Pajak. Kemudian, PKP melaporkan Faktur Pajak sekaligus menyetorkan pemungutan PPN di dalam SPT Masa setiap bulannya.

Wajib pajak dikukuhkan menjadi PKP untuk membuat Faktur Pajak, memungut dan menyetorkan PPN, kemudianmelaporkan PPN dalam SPT Masa PPN setiap bulan. Pernyataan tersebut sejalan apabila PKP melakukan transaksi rutin dan memiliki bisnis yang stabil. PKP yang sudah ideal biasanya mengalami permasalahan dalam aplikasi saja.

Terakhir, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2022 yang menjadi perubahan atas PER-03/PJ/2022. Belein ini merupakan aturan terbaru mengenai Faktur Pajak.

Ini merupakan upaya untuk mengikuti dan menjawab perkembangan yang ada saat ini, dengan catatan, reformasi perpajakan masih dan sedang berlangsung. Sangat penting bagi PKP yang sudah rutin menjalankan aktivitas bisnis untuk memastikan telah menerbitkan Faktur Pajak sesuai ketentuan.

 

Kekeliruan PKP Pengusaha Kecil

Meskipun secara ketentuan PKP diperbolehkan memilih dalam hal omzet belum mencapai Rp4,8 miliar, namun kewajibannya tidak bisa pilih-pilih. Kewajiban untuk membuat Faktur Pajak, memungut PPN dan menyetorkan, kemudian melaporkan SPT Masa PPN setiap bulan tetap berlaku bagi PKP yang memilih dikukuhkan menjadi PKP. PKP ini disebut PKP Pengusaha Kecil.

Seringkali PKP Pengusaha Kecil merasa tidak ada kewajiban perpajakan dengan alasan belum ada kegiatan atau transaksi. PKP semacam ini bukan merupakan pelaku usaha rutin, contohnya kontraktor, bisa saja PKP tidak melakukan kegiatan bisnis atau transaksi sama sekali.

PKP berasumsi bahwa tidak ada kegiatan berarti tidak ada kewajiban perpajakan. Hal tersebut tentu saja keliru karena PKP tetap berkewajiban melaporkan SPT Masa PPN setiap bulan meskipun tidak ada transaksi. Dengan mengabaikan kewajiban PKP tersebut, maka sanksi berupa denda akan diterbitkan oleh Kantor Pajak kepada PKP Pengusaha Kecil yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPT Masa PPN setiap bulan.

Sanksi inilah yang justru menjadi pemicu PKP Pengusaha Kecil untuk menyadari bahwa status PKP yang selama ini tersemat, bukan sekadar tulisan di atas kertas berjudul Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Ada dampak hukum perundang-undangan perpajakan dari penerbitan surat tersebut, yaitu untuk melaksanakan kewajiban membuat Faktur Pajak, memungut PPN dan menyetorkannya, kemudian melaporkannya dalam SPT Masa PPN setiap bulan.

Alangkah baiknya para PKP terutama PKP Pengusaha Kecil untuk segera memahami dan memenuhi kewajibannya. PKP bisa berkonsultasi mengenai kewajiban perpajakan di helpdesk yang disediakan kantor pajak masing-masing. Tentunya upaya tersebut dilakukan agar PKP Pengusaha Kecil dapat melaksanakan perannya yang besar bagi negara sehingga dapat terhindar dari penerapan sanksi yang lebih besar oleh kantor pajak.

 

 

Oleh:  Arief Hidayat, pegawai Direktorat Jenderal pajak

*)Artikel ini merupakan pendapat penulis pribadi dan bukan merupakan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

 

Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/teliti-lagi-sebelum-anda-jadi-pengusaha-kena-denda-pajak