Sistem perpajakan Indonesia menganut sistem self asessment yaitu sistem pemungutan pajak yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya adalah melalui pemeriksaan pajak. Salah satu produk pemeriksaan pajak adalah surat ketetapan berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).

Terhadap ketetapan yang diterbitkan tersebut, apabila wajib pajak tidak sependapat mengenai jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak, maka wajib pajak dapat menempuh upaya hukum melalui pengajuan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak.

Keberatan merupakan salah satu hak wajib pajak yang dijamin dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Untuk mengajukan keberatan, tentu saja ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh wajib pajak. Mekanisme pengajuan Keberatan diatur dalam Pasal 25 UU KUP.

Sedangkan aturan pelaksanaan keberatan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013  tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan. Dalam pelaksanaannya, surat keberatan yang disampaikan wajib pajak terkadang tidak memenuhi persyaratan.

Dengan tidak terpenuhinya persyaratan pengajuan keberatan, keberatan tidak dapat dipertimbangkan dan tidak diterbitkan surat keputusan. Sebagai tindak lanjutnya, DJP, dalam hal ini Kantor Wilayah DJP, akan menerbitkan surat pemberitahuan surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan dan mengembalikan surat keberatan yang dikirimkan ke alamat wajib pajak.

Jadi, bagaimana agar surat keberatan wajib pajak tidak dikembalikan dan dapat dipertimbangkan sehingga dapat diterbitkan surat keputusan? Berikut penjelasan terkait syarat-syarat pengajuan Keberatan.

Pertama, wajib pajak mengajukan surat keberatan secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Walaupun telah mendapat izin dari Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, dalam pengajuan keberatan, wajib pajak tetap harus mengajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.

Kedua, wajib pajak harus mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan wajib pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan. Yang dimaksud dengan alasan tersebut adalah alasan-alasan yang jelas dengan melampirkan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti pemungutan, atau bukti pemotongan.

Persyaratan ini merupakan hal penting dalam pengajuan keberatan. Alasan yang lengkap, jelas, serta didukung dengan bukti-bukti dokumen yang memadai akan menentukan pengambilan keputusan keberatan. Koreksi hasil pemeriksaan menjadi salah satu hal penting untuk menentukan alasan yang akan disampaikan wajib pajak pada saat mengajukan keberatan.

Dalam menyusun surat keberatan dengan alasan yang kuat, wajib pajak diberikan hak untuk meminta keterangan secara tertulis terhadap hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 25 ayat (6) UU KUP.

Apabila wajib pajak keberatan atas semua koreksi hasil pemeriksaan, maka setiap koreksi harus disebutkan dengan jelas dan disampaikan alasan keberatan atas setiap koreksi. Jika keberatan hanya atas sebagian koreksi saja maka wajib pajak cukup memberikan alasan atas koreksi tersebut dan menyatakan tidak keberatan atas koreksi yang lain. Jangan lupa untuk mencantumkan dasar hukum yang dapat menguatkan alasan wajib pajak untuk setiap koreksi yang diajukan keberatan.

Dalam beberapa kasus, pemeriksa dan wajib pajak menggunakan dasar hukum yang sama, tetapi memiliki penafsiran yang berbeda atas suatu pasal atau ketentuan. Dalam surat keberatan, wajib pajak bisa mengkaji secara rinci apakah penggunaan dasar hukum yang digunakan dalam koreksi sudah tepat menurut pandangan wajib pajak.

Ketiga, satu surat keberatan diajukan hanya untuk satu surat ketetapan pajak, untuk satu pemotongan pajak, atau untuk satu pemungutan pajak. Sebagai contoh, keberatan atas ketetapan PPh Tahun Pajak 2018 dan 2019, harus diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan. Untuk dua tahun pajak tersebut harus diajukan dua buah surat keberatan dan tidak boleh digabung dalam satu surat keberatan.

Keempat, wajib pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sebelum surat keberatan disampaikan. Persyaratan ini hanya berlaku apabila keberatan diajukan atas ketetapan pajak kurang bayar. Kewajiban pelunasan pajak dimaksud harus dilakukan pada saat sebelum surat keberatan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak.

Kewajiban pembayaran pajak yang masih harus dibayar oleh wajib pajak adalah paling sedikit sebesar jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tercantum pada kolom “jumlah menurut Pembahasan Akhir (Disetujui)” dalam surat ketetapan pajak. Namun, apabila jumlah pajak menurut pembahasan akhir (disetujui) adalah Nihil, wajib pajak tidak memiliki kewajiban untuk melunasi pajak yang masih harus dibayar tersebut.

Kelima, diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak dikirim atau pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga. Apabila wajib pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan wajib pajak, dapat dikecualikan dari ketentuan tersebut. Batas waktu tersebut diberikan dengan maksud agar wajib pajak mempunyai waktu yang cukup untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya.

Apabila ternyata batas waktu tersebut tidak dapat dipenuhi wajib pajak karena keadaan di luar kekuasaan wajib pajak, tenggang waktu selama tiga bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang.

Adanya pandemi Covid-19 membuat pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Dalam Pasal 8 huruf a peraturan tersebut, pemerintah memberikan kemudahan bagi wajib pajak yang mengajukan keberatan dalam periode keadaan kahar akibat pandemi Covid-19. Kemudahan tersebut berupa perpanjangan jatuh tempo pengajuan keberatan menjadi paling lama enam bulan. Sehingga, jangka waktu pengajuan keberatan menjadi sembilan bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak.

Contoh, surat ketetapan pajak dikirim kepada wajib pajak pada tanggal 20 Desember 2019. Berdasarkan Pasal 25 ayat (3) UU KUP maka wajib pajak dapat mengajukan keberatan paling lama tanggal 19 Maret 2020. Mengingat tanggal 19 Maret 2020 termasuk dalam periode keadaan kahar akibat pandemi Covid-19, maka wajib pajak dapat mengajukan keberatan paling lama tanggal 19 September 2020.

Keenam, surat keberatan ditandatangani oleh wajib pajak, atau apabila ditandatangani oleh selain wajib pajak harus melampirkan surat kuasa khusus. Pasal 32 ayat (2) UU KUP mengatur bahwa dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib pajak diwakili oleh:

  • badan oleh pengurus,
  • badan yang dinyatakan pailit oleh kurator,
  • badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang diberi tugas untuk melakukan pemberesan,
  • badan dalam likuidasi oleh likuidator,
  • suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya,
  • pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya, atau
  • anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.

Ketujuh, wajib pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 KUP. Apabila wajib pajak menempuh upaya hukum melalui pengajuan keberatan, wajib pajak tidak boleh mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak.

Demikian ulasan singkat tentang syarat-syarat pengajuan keberatan dalam sengketa perpajakan. Keberatan merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak yang merasa tidak puas dengan surat ketetapan pajak yang ditetapkan. Jadi, perhatikan syaratnya sebelum mengajukan ya.

 

Oleh: Deazy Safira, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/surat-permohonan-keberatan-dikembalikan-pahami-syarat-pengajuannya