Salah satu hal yang perlu kita ketahui tentang negeri ini adalah kondisi lingkungan Indonesia yang masih buruk. Jangan buru-buru menyangkal kenyataan ini. Hal ini terbukti dari data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyatakan bahwa jumlah sampah yang menimbun bumi pertiwi semakin menggunung.
Pada 2020, timbunan sampah nasional mencapai 34,5 juta ton dan mengalami kenaikan sebesar 2,44 persen dari tahun sebelumnya. Sampah plastik yang notabene lebih sulit terdekomposisi dan diolah kembali juga mengalami peningkatan. Sampah plastik yang menumpuk pada 2019 sebesar 5,53 juta ton meningkat menjadi hampir 6 juta ton pada tahun 2020. Celakanya, sampah yang berhasil ditangani tiap tahunnya tidak lebih dari 50 persen.
Lalu, dikutip dari berita harian Tempo, Direktur Pengendalian Pencemaran Air Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Luckmi Purwandari mengatakan bahwa terjadi penurunan kondisi sungai yang tercemar dari tahun 2015-2020. Kendati demikian, sebagian besar sungai masih butuh pemulihan habitat sungai.
Dari 564 titik di Indonesia, kondisi sungai tercemar berat ada 59 persen, tercemar sedang sekitar 26,6 persen, sedangkan tercemar ringan sebesar 8,9 persen. Terakhir, menurut data yang dilansir oleh IQAir, Indonesia berada pada urutan ke-9 negara dengan udara paling tercemar sedunia yang nilainya 40,7 mikrogram per meter kubik pada tahun 2020 atau empat kali lebih besar dari standar World Health Organization.
Alih fungsi lahan dan hutan, polusi dari emisi karbon, penggunaan energi dan bahan yang tidak ramah lingkungan seperti batu bara, minyak bumi, dan kelapa sawit, dan tabiat buruk masyarakat yang tidak ingin tahu tentang bahaya kerusakan lingkungan dinilai menjadi penyebab terbesar kualitas lingkungan Indonesia menjadi buruk.
Beragam fakta di atas sangat berbahaya bagi lingkungan dan diri kita. Kerusakan habitat alami seperti hutan yang kehilangan daya resap air dan storage alami oksigen, kekurangan sumber air bersih, dan udara yang tidak layak hirup bagi seluruh makhluk hidup merupakan dampak yang timbul akibat ulah manusia yang zalim dan pemerintah yang abai dalam penanganannya.
Selain itu, timbul biaya penanganan bencana lingkungan dan kesehatan yang nilainya sangat besar sehingga memengaruhi aktivitas perekonomian kita. Lebih parahnya, terjadi perubahan iklim yang ekstrem dan kelangkaan hayati yang dapat memusnahkan peradaban manusia.
Tentunya, kita harus mengapresiasi seluruh elemen yang berjuang untuk memulihkan kondisi lingkungan yang rusak. Pemerintah terus berusaha melalui program kerjanya, serta pihak swasta dan masyarakat yang bahu membahu memulai langkah edukasi tentang pentingnya hemat energi dan menjaga kelestarian ekosistem alami. Namun, perlu kebijakan lain yang juga mencerminkan keberlanjutan lingkungan hidup, ekonomi yang lebih sehat, dan struktural serta sistematis.
Ekonomi Hijau
Menurut Nicolas Stern melalui kajian yang berjudul Stern Review: The Economics of Climate Change (2006), menyampaikan bahwa manfaat atas tindakan yang nyata dan preventif dalam upaya memperbaiki lingkungan jauh lebih murah secara ekonomis daripada tidak bertindak sama sekali. Apa maksudnya? Dalam seabad ke depan, kita dihadapkan pada potensi dampak perubahan iklim pada sumber daya air, pangan, kesehatan, dan lingkungan.
Jika kita tidak bertindak apapun, seluruh biaya yang timbul atas perubahan iklim ini setara dengan kita kehilangan lima persen Produk Domestik Bruto (PDB) global per tahun. Lebih jauh, jika ditambah dengan biaya risiko dan dampak non material seperti ganti rugi, maka 20% PDB global per tahun akan hilang begitu saja. Oleh karena itu, Nicolas Stern mengusulkan satu persen atas PDB global per tahun diinvestasikan untuk menghindari dampak negatif perubahan iklim di atas.
Contoh kajian inilah yang dimaksud sebagai ekonomi hijau, yang memperhatikan eksternalitas negatif atas kegiatan ekonomi yang kita lakukan selama ini, utamanya di bidang lingkungan hidup.
Konsep Pigou
Arthur Pigou dalam bukunya yang berjudul The Economics of Welfare (1920), berpendapat bahwa pengusaha cenderung mencari keuntungan melebihi laba sesuai mekanisme pasar. Ketika kepentingan pribadi lebih besar dari kepentingan sosial, pengusaha tidak memiliki kemauan untuk membayar biaya sosial. Sebaliknya, jika suatu industri menghasilkan manfaat sosial, individu yang menerima manfaat biasanya tidak memiliki kemauan untuk membayar manfaat itu.
Pigou menyebut situasi ini sebagai kerugian secara sosial. Kedua belah pihak tidak ada yang mau berkorban atau bekerja sama. Di sinilah muncul konsep pigouvian tax yang direkomendasikan untuk mencegah kerugian sosial ini tidak sampai melonjak.
Fungsi regulerend pajak seperti pigouvian tax dapat diwujudkan melalui perumusan kebijakan yang bertujuan menyehatkan lingkungan hidup dan menciptakan kondisi ekonomi negara yang lebih sehat secara bersamaan. Pajak yang sifatnya memaksa dan berkekuatan hukum, dapat menjadi instrumen pembangunan negara yang hasilnya dapat digunakan untuk konservasi biota dan satwa, kegiatan penyelamatan habitat alami, pembukaan ruang terbuka hijau, dan perbaikan tata kota yang berkonsep smart and green city.
Insentif dan Disinsentif
Penerapan pajak lingkungan bisa dibagi menjadi dua aspek. Pertama, pemberian insentif dan keringanan pajak bagi pengusaha atau perseorangan yang konsisten dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup. Misal, penggunaan panel surya, turbin air, dan kincir angin sebagai sumber tenaga listrik untuk menjalankan kegiatan usahanya dapat diberikan insentif berupa pengakuan seluruh biaya penyusutan atas peralatan tersebut sebagai biaya fiskal. Atau penjualan produk ramah lingkungan dan berbahan dasar hasil daur ulang limbah akan mendapatkan pembebasan atau pengurangan pajak dan berefek pada harga barang yang murah.
Kedua, pemberian tarif pajak yang lebih besar atau tidak diakuinya biaya akibat penggunaan komponen yang tidak ramah lingkungan. Sebagai contoh, di Ukraina terdapat pajak yang bernama Environmental Pollution Fee yang bertujuan mengenakan pajak bagi perusahaan yang membuang polusi karbon atau pengenaan pajak lebih tinggi atas bahan bakar dan produk jadi yang tidak ramah lingkungan, serta tidak mengakui biaya operasional pada tahap produksi tertentu yang dapat mengganggu keseimbangan lingkungan alamiah.
Niat dan Visi
Memang, pemilihan kebijakan untuk mengatasi kerusakan lingkungan diawali oleh keinginan pemerintah itu sendiri. Langkah-langkah mengatasi krisis lingkungan hidup termasuk pengenaan pajak untuk konservasi lingkungan ini pun juga masih terhalang oleh skema geopolitik.
Namun, jika visi pembangunan manusia, lingkungan hidup, dan ekonomi yang berkelanjutan lebih dikedepankan, maka penulis yakin bahwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang dirumuskan untuk perekonomian negeri dan pembangunan peradaban yang berasaskan adab manusia dan alamlah yang akan menang.
Oleh: Rachmat Fadloli Zakaria, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/pajak-lingkungan-alat-konservasi-bumi-pertiwi