Salah satu faktor mahalnya harga rokok adalah karena rokok dikenakan cukai. Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap Barang Kena Cukai. Cukai berbeda dengan pajak. Walaupun sama-sama memungut uang dari pembelinya, cukai hanya dikenakan atas barang yang memiliki karakteristik khusus.

 

Cukai vs Pajak

Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2017 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib yang dibebankan kepada negara yang terutang oleh orang pribadi dan badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ada beberapa jenis pajak, misalnya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai. Pajak tersebut dikenakan atas objek pajak tertentu misalnya penghasilan, barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak, meterai. Pajak tersebut pada intinya muncul dengan dua fungsi yaitu, budgetair untuk menghimpun penerimaan negara dan regulerend untuk mengatur perekonomian.

Lalu muncul cukai yang juga merupakan pungutan negara sama dengan pajak, namun bedanya cukai hanya dikenakan atas barang dengan karakteristik khusus. Karakteristik khusus tersebut merujuk pada sifat barang yang dalam pemakaiannya memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan masyarakat umum. Sehingga perlu membatasi penggunaanya serta mengawasi peredarannya. Selain itu, barang-barang tersebut diperlukan pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Jadi cukai itu dikenakan untuk menekan penggunaan barang-barang tersebut, bukan mengatur perekonomian.

 

Rokok, Rokok Elektrik dan Ganja

Rokok adalah lintingan atau gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas, daun, kulit jagung yang dihisap setelah dibakar ujungnya. Rokok dianggap barang dengan karakteristik khusus karena memberikan dampak negatif terhadap kesehatan.  Hal ini juga berlaku pada rokok elektrik atau yang lebih dikenal dengan vape.

Rokok elektrik berupa cairan dan alat pemanas dalam satu kesatuan resmi ditetapkan sebagai barang kena cukai. Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 67/PMK.04/2018 Tentang Perdagangan Barang Kena Cukai yang Pelunasan Cukainya dengan Pelekatan Pita Cukai atau Pembubuhan Tanda Pelunasan Cukai Lainnya, satu kesatuan vape itu digolongkan dalam ekstrak dan esens tembakau sehingga masuk ke dalam Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL).

Lalu bagaimana dengan ganja? Apakah ganja perlu dikenakan pajak karena memiliki efek negatif dan perlu dibatasi penggunaannya serta diawasi peredarannya?

Beberapa waktu ke belakang, banyak selebriti yang tertangkap polisi atas kasus penyalahgunaan narkoba. Salah satu yang booming adalah ganja. Cannabis Sativa atau mariyuana merupakan nama lain dari ganja. Ganja punya efek negatif terhadap kesehatan fisik dan psikis penggunanya. Mulai dari kanker paru-paru, bronkitis kronis hingga gangguan psikotik.

Jika kita mengacu pada PMK-67/2018, peraturan tersebut hanya mengatur mengenai pengenaan cukai pada olahan tembakau dan minuman yang mengandung etil alkohol. Ganja tidak termasuk di dalamnya.

Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah yaitu melarang peredaran dan penggunaan narkoba termasuk ganja. Cukai itu dikenakan hanya untuk membatasi penggunaan bukan melarang penggunaan. Bayangkan jika pemerintah memasukkan ganja sebagai Barang Kena Cukai, itu artinya ganja sudah dilegalkan di Indonesia. Karena bagaimana pun juga, cukai itu merupakan penerimaan negara.

Jika ganja dikenakan cukai, maka setiap transaksi ganja akan dicatat karena harus dilekatkan pita cukai atau dibubuhkan tanda pelunasan cukai. Artinya, transaksi ganja harus buka-bukaan. Padahal sampai saat ini, ganja masih dilarang di Indonesia.

Sehingga jelaslah bahwa barang haram ini tidak diatur dalam PMK tersebut, bukan karena pemerintah tidak mengawasi peredarannya atau menekan penggunaanya, melainkan komitmen pemerintah untuk terus melawan narkoba. Hal ini juga berarti pemerintah lebih mementingkan aspek moral dibanding aspek penerimaan. Jika pemerintah mementingkan aspek penerimaan, penjualan ganja bisa dikenakan cukai karena nantinya akan menjadi penerimaan negara yang jumlahnya fantastis.

 

PPh atas Hasil Korupsi

Pajak penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan. Menurut pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Dalam ayat tersebut disebutkan secara terperinci mengenai apa saja yang termasuk ke dalam penghasilan yang dikenakan pajak. Namun, di dalamnya tidak ada penghasilan dari korupsi. Apakah uang haram tersebut tidak dikenakan pajak karena pemerintah mendukung korupsi?

Jika mengacu pada pengertian penghasilan sebagai objek pajak pada ayat tersebut, maka uang hasil korupsi masuk sebagai objek PPh, karena merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang bisa digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak, ditambah lagi terdapat klausul “dengan nama dan dalam bentuk apa pun”.

Dalam perpajakan Indonesia, ada tiga sistem pemungutan pajak, yakni Self Assessment System, Official Assessment System dan Withholding Assessment System. Jika menggunakan Self Assessment System, wajib pajaklah yang mendaftar, menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri. Artinya ada pengungkapan penghasilan oleh wajib pajak. Jika menggunakan Official Assessment System, maka kantor pajak yang memiliki wewenang untuk menentukan besaran pajak. Artinya kantor pajak harus mengetahui seluk beluk penghasilan wajib pajak. Jika menggunakan Withholding Assessment System, besaran pajak dihitung dan dipotong/dipungut oleh pihak ketiga. Maka, pihak ketiga harus mengetahui penghasilan wajib pajak.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penghasilan harus diketahui entah diungkap oleh wajib pajak, diketahui oleh kantor pajak, ataupun diketahui oleh pihak ketiga. Masalahnya, uang haram hasil korupsi itu bukanlah penghasilan yang akan diungkap oleh koruptor. Kantor pajak pun tidak punya kewenangan dalam menyelidiki apakah penghasilan yang diterima wajib pajak ini haram atau halal untuk dipajaki. Apalagi pihak ketiga. Apa iya rekanan koruptor ini akan memajaki penghasilan tersebut?

Dari pengertian penghasilan dan sistem pemajakan di atas, bisa disimpulkan bahwa sebenarnya pajak itu dikenakan atas penghasilannya bukan atas haram halalnya. Jikalau penghasilan tersebut masuk sebagai penghasilan dalam negeri oleh orang pribadi maka skemanya akan dikenakan tarif pasal 17 UU PPh, jika uang haram itu sudah menjadi harta maka atas pembelian harta sudah dikenakan PPN atau bahkan PPnBM.

Oleh: Putu Dian Pusparini, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

 

Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/pajak-atas-barang-haram