Responsivitas ini diukur dengan dua konsep, elastisitas pajak yang mengukur respons otomatis penerimaan pajak terhadap perubahan basis pajaknya dan tax buoyancy yang mengukur respons penerimaan pajak terhadap perubahan pendapatan nasional (PDB).

 

Tax Buoyancy dan Tax Elasticity

Tax buoyancy secara sederhana menunjukkan persentase perubahan atau elastisitas penerimaan perpajakan untuk setiap persen pertumbuhan ekonomi atau pendapatan nasional. Selain sebagai pengukur elastisitas penerimaan perpajakan, tax buoyancy dapat pula digunakan untuk mengukur estimasi atau produktivitas penerimaan pajak serta indikator evaluasi.

Terdapat dua macam pendekatan dalam perhitungan tax buoyancyPertama, menghitung respons atau elastisitas penerimaan pajak terhadap perubahan PDB tanpa melihat perubahan kebijakan yang terjadi pada tahun bersangkutan.

Kedua, menghitung elastisitas penerimaan pajak tersebut dengan memperhitungkan kebijakan pajak. Hal ini dilakukan dengan cara memasukkan unsur rasio PDB terhadap penerimaan pajak.

Penerimaan pajak dapat dibilang optimal apabila kinerjanya dapat mengimbangi, bahkan melebihi pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Tax buoyancy lebih dari satu menandakan kinerja penerimaan pajak melampaui kinerja ekonomi.

Sebaliknya, tax buoyancy dengan nilai kurang dari satu atau negatif menandakan kinerja pajak yang tidak sebanding dengan performa ekonomi negara tersebut. Sedangkan elastisitas pajak adalah ukuran yang memperhitungkan perubahan kebijakan pemerintah terhadap penerimaan pajak yang disebabkan oleh perubahan struktur perpajakan.

Dikatakan elastis, (elastisitas di atas satu) artinya jika persentase perubahan PDB berubah sebesar satu persen maka akan berpengaruh terhadap perubahan sumber penerimaan pajak lebih besar dari satu persen. Dikatakan inelastis (elastisitas dibawah satu) jika persentase perubahan PDB berubah sebesar satu persen, maka pengaruh perubahan sumber penerimaan negara dari pajak adalah kurang dari satu persen. Dikatakan unit elastis (elastisitas sama dengan satu), jika persentase perubahan PDB berubah sebesar satu persen maka pengaruhnya terhadap pendapatan adalah satu persen.

 

Korelasi 

Hubungan antara pajak dan PDB menunjukkan bahwa rasio pajak terhadap PDB memiliki hubungan yang kuat dengan transaksi perdagangan, arus modal, basis pajak, korupsi, dan pendapatan per kapita. Keterbukaan perdagangan, arus masuk modal, dan pendapatan per kapita berpengaruh positif serta signifikan terhadap rasio pajak terhadap PDB.

Basis pajak berhubungan positif dengan rasio pajak terhadap PDB, ketika basis pajak melebar, rasio pajak terhadap PDB meningkat. Tax buoyancy merupakan ukuran dari respons penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. Penerimaan pajak akan meningkat lebih dari satu persen untuk setiap satu persen peningkatan dari pendapatan nasional.

Jika tax elasticity digunakan untuk mengukur perubahan penerimaan pajak terhadap perubahan basis pajak, maka tax buoyancy digunakan untuk mengukur perubahan penerimaan pajak terhadap perubahan pendapatan nasional (PDB).

Jika perhitungan tax buoyancy lebih besar dari tax elasticity, dapat dikatakan bahwa perubahan kebijakan relatif efektif untuk meningkatkan penerimaan pajak. Namun keadaan sebaliknya, jika perhitungan elastisitas pajak melebihi tax buoyancy, maka kebijakan perpajakan yang dikeluarkan pemerintah justru akan menurunkan tax revenue ratio.

Kemudian, jika terdapat kasus ketika kedua perhitungan sama besar, maka langkah-langkah kebijakan dapat dikatakan memiliki sedikit atau tidak ada dampak pada penerimaan pajak.

 

Sektor yang Memiliki Tax Buoyancy di atas Tax Elasticity

Indonesia memiliki PDB (produk domestik bruto) terbesar di negara-negara ASEAN, tetapi rasio pajaknya berada di peringkat terendah. Salah satu penyebabnya adalah tidak semua unsur penerimaan negara dimasukkan sebagai penerimaan pajak, seperti pajak daerah.

Hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara menemukan bahwa elastisitas dan tax buoyancy berbeda satu sama lain dan belum ditemukan sektor pendapatan mana yang paling berpengaruh terhadap elastisitas dan daya apung suatu negara.

Penelitian yang dilakukan di Indonesia dengan selang waktu dari tahun 2011 hingga 2019 menemukan bahwa rasio pajak Indonesia sebesar 11,59 dengan memasukkan unsur pajak daerah. Tingkat elastisitas pajak sebesar 0,59 sebelum pajak daerah dimasukkan dan 0,93 setelah pajak daerah dimasukkan. Tax buoyancy sebesar 0,67 sebelum dimasukkan dan 0,44 setelah dimasukkan pajak daerah.

Dengan melihat nilai elastisitas pajak dan tax buoyancy maka pemerintah akan dapat menentukan sektor mana yang memiliki buoyancy di atas elastisitas dan nilainya lebih dari satu yang artinya setiap kenaikan PDRB/PDB akan memberikan pengaruh yang baik atau akan meningkatkan rasio penerimaan pajak.

Tax buoyancy dan tax elasticity yang paling berpengaruh terhadap rasio pajak adalah sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara dingin diikuti oleh sektor kesehatan dan jasa sosial. Namun demikian, secara keseluruhan terdapat sektor-sektor yang berdampak pada kenaikan tax ratio dilihat dari tax buoyancy, yaitu:

  1. Pengadaan listrik, gas, steam/air panas, dan AC
  2. Konstruksi
  3. Perdagangan besar dan eceran, perbaikan, dan perawatan mobil dan sepeda motor
  4. Transportasi dan pergudangan
  5. Penyediaan akomodasi dan penyediaan pakanan dan minuman
  6. Informasi dan komunikasi
  7. Keuangan dan asuransi
  8. Layanan profesional, ilmiah, dan teknis
  9. Administrasi pemerintahan dan jaminan sosial
  10. Layanan pendidikan
  11. Pelayanan kesehatan dan kegiatan sosial.

Oleh karena itu, pemerintah harus memperhatikan sektor-sektor tersebut dalam rangka meningkatkan rasio pajak.

 

Alternatif untuk Meningkatkan Tax Ratio

Agar perhitungan penerimaan pajak lebih mencerminkan pendapatan riil dalam menghitung besarnya tax ratio, sebaiknya ditambahkan unsur pajak daerah. Dengan menambahkan komponen pajak daerah akan meningkatkan unsur pembilang (pajak) sehingga akan meningkatkan hasil distribusi.

Hal ini juga sejalan dengan perhitungan tax ratio menurut OECD dan GSMF yang memasukkan lebih banyak unsur penerimaan pajak. Pun, akan meningkatkan multiplier effect yaitu dengan meningkatkan penerimaan negara yang akan menciptakan penerimaan pajak.

Misalnya, jika rasio pajak 10 persen diperoleh dari penerimaan pajak dibagi PDB, maka yang harus dilakukan adalah menaikkan pajak yang kenaikannya melebihi kenaikan PDB, artinya memiliki efek apung dan elastis dengan nilai di atas satu.

Lebih khusus dalam hal penerimaan pajak, menurut beberapa penelitian akan ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai alternatif seperti dengan meningkatkan intensifikasi penerimaan perpajakan, yaitu menggali potensi perpajakan dari wajib pajak; meningkatkan intensifikasi dengan lebih aktif dalam memperoleh pajak yang terutang dan melakukan pemeriksaan pajak; meningkatkan ekstensifikasi wajib pajak, yaitu menjaring wajib pajak yang belum memilikiNomor Pokok Wajib Pajak agar dapat memenuhi kewajiban perpajakannya; meningkatkan objek pajak yang sebelumnya tidak dikenakan pajak, seperti pajak atas transaksi daring; atau meningkatkan penggalian sumber pajak dari UMKM (usaha mikro-kecil) seperti yang telah dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.

 

Oleh : Wisnu Saka Saputra, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

 

Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/tax-buoyancy-dan-tax-elasticity-sebagai-indikator-penerimaan-pajak