Oleh: Rendy Brayen Latuputty, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Dalam bidang perpajakan, Indonesia menganut self assessment system. Sistem ini memberikan kepercayaan sekaligus tanggung jawab kepada wajib pajak untuk mendaftar, menghitung dan memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan kewajiban perpajakannya secara mandiri. Kendati demikian, self assessment system yang diterapkan di Indonesia tidak murni atau bersifat campuran. Mengapa? Kewajiban pembayaran pajak tidak hanya dilaksanakan dengan mekanisme penyetoran secara mandiri oleh wajib pajak, tetapi ada mekanisme lain melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak lain. Mekanisme lain tersebut dikenal dengan istilah witholding tax system.

Witholding tax system menggeser kewajiban perpajakan kepada pihak lain. Maksudnya, pihak lain dibebani kewajiban untuk memotong atau memungut pajak dan menyetorkannya ke kas negara ketika melakukan transaksi tertentu. Selain itu, ia juga dibebani kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) atas pemotongan atau pemungutan dan penyetoran pajak yang dilakukannya. Sehingga jika kewajiban-kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, pihak lain itu dapat dikenai sanksi perpajakan.

Witholding tax system salah satunya diterapkan dalam pajak penghasilan (PPh) Final UMKM berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 (PP 23). Namun, masih banyak wajib pajak yang belum memahami hal ini. Pasalnya, mereka menganggap PP 23 sama saja dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 (PP 46; peraturan PPh Final UMKM terdahulu). Hanya tarif pajaknya saja yang berbeda. Padahal, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara PP 23 dan PP 46. Salah satunya mengenai witholding tax system ini.

Dalam PP 23, ada mekanisme pemotongan PPh Final oleh pihak lain. Sedangkan dalam PP 46, tidak ada mekanisme tersebut, semuanya dilaksanakan secara mandiri oleh wajib pajak yang dikenai PPh Final berdasarkan PP 46 (Wajib Pajak PP 46). Apabila wajib pajak tidak memahami hal ini, bisa timbul masalah. Pemotong atau pemungut PPh yang bertransaksi dengan wajib pajak yang dikenai PPh Final berdasarkan PP 23 (Wajib Pajak PP 23) berpotensi tidak memenuhi kewajibannya sehingga bisa dikenai sanksi perpajakan. Lantas, apa saja kewajiban pemotong atau pemungut PPh ketika bertransaksi dengan Wajib Pajak PP 23?

Konfirmasi Suket PP 23

Surat Keterangan (Suket) PP 23 adalah surat keterangan yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menyatakan bahwa wajib pajak merupakan Wajib Pajak PP 23. Dengan adanya surat itu, Wajib Pajak PP 23 tidak dipotong atau dipungut PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 22 impor, ataupun PPh Pasal 23. Ia cukup menyerahkan fotokopi Suket PP 23 kepada lawan transaksi atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ketika melakukan transaksi impor.

Pemotong atau pemungut PPh yang bertransaksi dengan Wajib Pajak PP 23 mempunyai kewajiban melakukan konfirmasi kebenaran Suket PP 23. Konfirmasi dapat dilakukan dengan empat cara. Pertama, dengan memindai kode batang (barcode) yang tertera pada Suket PP 23. Kedua, konfirmasi melalui laman pajak.go.id pada menu Layanan – Rumah Konfirmasi Dokumen. Ketiga, konfirmasi kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), atau KPP Mikro. Keempat, konfirmasi kepada Kring Pajak 1500200.

Hasil konfirmasi kebenaran Suket PP 23 akan menentukan perlakuan perpajakan selanjutnya. Jika Suket PP 23 terkonfirmasi kebenarannya, pemotong atau pemungut PPh tidak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 22 impor, ataupun PPh Pasal 23 terhadap Wajib Pajak PP 23. Namun, apabila kebenaran Suket PP 23 tidak terkonfirmasi atau Wajib Pajak PP 23 tidak menyerahkan fotokopi Suket PP 23, pemotong atau pemungut PPh wajib melakukan pemotongan atau pemungutan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 22 impor, ataupun PPh Pasal 23. Oleh sebab itu, DJP mengimbau kepada Wajib Pajak PP 23 yang masih memiliki Suket PP 23 yang diterbitkan secara manual, agar mengajukan Suket PP 23 kembali secara daring melalui laman pajak.go.id.

Potong dan Setor PPh Final

Kewajiban pemotong atau pemungut PPh yang bertransaksi dengan dengan Wajib Pajak PP 23 berikutnya adalah melakukan pemotongan PPh Final berdasarkan PP 23 (PPh Final UMKM). Pemotongan wajib dilakukan pada saat pembayaran atau pada akhir bulan saat terutangnya PPh Final UMKM, mana yang lebih dulu. Jumlah yang harus dipotong sebesar 0,5% dari nilai transaksi, sebelum pajak pertambahan nilai (PPN). Pemotongan tersebut dilakukan atas setiap transaksi penjualan barang atau penyerahan jasa yang merupakan objek pemotongan atau pemungutan PPh dan merupakan penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam PP 23.

Setelah melakukan pemotongan PPh Final UMKM, pemotong atau pemungut PPh wajib melakukan penyetoran ke kas negara. Penyetoran harus dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Kode akun pajak (KAP) yang digunakan adalah 411128 dengan kode jenis setoran (KJS) 423. Bukti penerimaan negara (BPN) wajib diberikan pemotong atau pemungut PPh kepada Wajib Pajak PP 23 sebagai bukti pemotongan PPh Final UMKM.

Lapor SPT Masa

Kewajiban terakhir sebagai pemotong atau pemungut PPh yang bertransaksi dengan Wajib Pajak PP 23 adalah menyampaikan SPT Masa PPh Final Pasal 4 Ayat (2). Ini merupakan bentuk pertanggungjawaban atas pemotongan dan penyetoran PPh Final UMKM yang telah dilakukan. SPT Masa tersebut wajib disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Pemotongan PPh Final UMKM dilaporkan pada baris angka 11 SPT Masa PPh Final Pasal 4 Ayat (2). Kolom Uraian diisi dengan “Penghasilan Usaha WP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu”. Kemudian, kolom KAP/KJS diisi dengan “411128/423”.

Kala Pandemi Melanda

Selama masa pandemi Covid-19, Wajib Pajak PP 23 berhak memanfaatkan insentif PPh Final UMKM ditanggung pemerintah (DTP). Insentif tersebut bisa dimanfaatkan mulai masa pajak April sampai dengan Desember 2020. Dengan adanya insentif ini, Wajib Pajak PP 23 tidak perlu menyetor PPh Final UMKM selama masa pajak tersebut.

Insentif PPh Final UMKM DTP juga berimplikasi pada pemotongan PPh Final UMKM. Di sini, pemotong atau pemungut PPh tidak lagi melakukan pemotongan terhadap Wajib Pajak PP 23. Namun, mereka wajib membuat cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh FINAL DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 86/PMK.03/2020”. Cetakan kode billing tersebut kedudukannya dipersamakan dengan bukti pemotongan PPh Final UMKM dan wajib diberikan kepada Wajib Pajak PP 23.

Agar penjelasan di atas bisa dipahami secara lebih komprehensif, simaklah contoh kasus berikut:

PT Usus Goreng memberikan jasa pengendalian hama (pest control) kepada PT Batu Bata. Atas pemberian jasa tersebut, PT Batu Bata membayar Rp100 juta kepada PT Usus Goreng. Diketahui, PT Usus Goreng merupakan Wajib Pajak PP 23 dan memiliki Suket PP 23.

Skenario 1: Suket PP 23 PT Usus Goreng tidak terkonfirmasi kebenarannya atau PT Usus Goreng tidak menyerahkan Suket PP 23 kepada PT Batu Bata.

PT Batu Bata melakukan pemotongan PPh Pasal 23 terhadap PT Usus Goreng dengan perhitungan:
PPh Pasal 23 = 2% x Rp100.000.000,00
= Rp2.000.000,00

Skenario 2: Suket PP 23 PT Usus Goreng terkonfirmasi kebenarannya.

PT Batu Bata melakukan pemotongan PPh Final UMKM terhadap PT Usus Goreng dengan perhitungan:
PPh Final UMKM = 0,5% x Rp100.000.000,00
= Rp500.000,00

Kemudian atas pemotongan tersebut, PT Batu Bata wajib melakukan penyetoran ke kas negara menggunakan KAP/KJS 41128/423 paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Paling lambat tanggal 20, PT Batu Bata wajib menyampaikan SPT Masa PPh Final Pasal 4 Ayat (2).

Skenario 3: Suket PP 23 PT Usus Goreng terkonfirmasi kebenarannya. Pemberian jasa pengendalian hama dilaksanakan selama bulan Agustus 2020. Pembayaran dilakukan pada tanggal 15 September 2020 (masuk dalam masa pemberian insentif PPh Final UMKM DTP).

PT Batu Bata tidak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh terhadap PT Usus Goreng. Namun, pada tanggal 15 September 2020 atau paling lambat tanggal 10 Oktober 2020, PT Batu Bata wajib membuat cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh FINAL DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 86/PMK.03/2020” senilai Rp500.000,00 dengan KAP/KJS 411128/423. Cetakan kode billing tersebut wajib diberikan kepada PT Usus Goreng. Terakhir, PT Batu Bata wajib menyampaikan SPT Masa PPh Final Pasal 4 Ayat (2) untuk masa pajak September 2020 pada tanggal 20 Oktober 2020.

*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja

Sumber : https://www.pajak.go.id/id/artikel/bertransaksi-dengan-wajib-pajak-pp-23-ini-kewajibannya