Kepatuhan wajib pajak merupakan salah satu faktor penentu pencapaian penerimaan pajak. Kepatuhan tersebut merupakan perwujudan perilaku wajib pajak, sehingga Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat wajib pajak. 

Salah satu upaya DJP adalah meningkatkan kegiatan kehumasan dengan tujuan antara lain membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi DJP dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pajak.

Selain itu, DJP berupaya memperbanyak keterlibatan masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk penyebarluasan wajib pajak teladan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa adanya para wajib pajak besar dan berpengaruh di masyarakat yang menyatakan bahwa mereka taat pajak dapat memberi efek positif terhadap kepatuhan wajib pajak lain dan penerimaan pajak.

Ini merupakan salah satu contoh pergeseran model kepatuhan perpajakan (tax compliance model) dari yang sebelumnya menggunakan pendekatan ekonomi (economic approaches) menjadi pendekatan perilaku (behavioral approaches).

Di sisi lain, DJP terus berusaha meningkatkan kualitas dan kuantitas pemeriksaan dan pengawasan wajib pajak. Pendekatan ini berbasis pada aspek ekonomi yang dipelopori oleh Allingham dan Sandmo beberapa dekade lalu.

Sesuai model penghindaran pajak mereka, wajib pajak akan mengurangi data penghasilan mereka jika peluang mereka diperiksa oleh institusi pajak kecil. Dengan kata lain, jika rasio cakupan pemeriksaan (audit coverage ratio) yang dilakukan DJP tinggi, maka wajib pajak akan berupaya lebih untuk memenuhi kewajiban mereka.

Data rasio tersebut perlu diketahui tidak hanya oleh para wajib pajak, tetapi juga oleh para pegawai DJP. Para pegawai DJP di berbagai daerah dapat menyebarkan data tersebut kepada wajib pajak melalui berbagai kegiatan, contoh ketika account representative melakukan kegiatan kunjungan kepada wajib pajak. 

Dalam momen itu, wajib pajak dapat diberitahu berapa peluang mereka diaudit, misal kita gunakan angka sebesar 2%. Secara sederhana, dapat diartikan bahwa dari 100 wajib pajak, akan ada dua wajib pajak yang diperiksa oleh DJP. Di sisi lain, unit DJP juga dapat menginterpretasikan bahwa dari 50 surat pemberitahuan (SPT) yang disampaikan oleh wajib pajak, satu SPT akan diperiksa oleh DJP.

Melihat model kepatuhan perpajakan dengan pendekatan ekonomi, jika tingkat audit DJP terus meningkat setiap tahun, maka penyampaian data tersebut akan berkorelasi positif dengan kepatuhan wajib pajak. Hal ini menjadi salah satu alasan bahwa data tersebut dan kemungkinan sanksi yang menyertai perlu disampaikan sebagai bagian dari kegiatan kehumasan DJP. 

Statistik tersebut juga penting untuk disampaikan dalam setiap kegiatan edukasi wajib pajak, termasuk terhadap wajib pajak yang baru terdaftar. Dengan melaksanakan hal tersebut, wajib pajak baru tidak akan merasa takut diperiksa dan dapat menjadi lebih siap menjalankan proses audit. Selain itu, dengan mengetahui data tersebut, wajib pajak tentu akan berusaha menghindari sanksi yang mungkin mereka terima jika ketidakpatuhan mereka ditemukan pada saat pemeriksaan.

Untuk lebih mendekatkan informasi tersebut kepada wajib pajak, DJP dapat mempersiapkan data yang lebih rinci terkait peluang wajib pajak diaudit. Lalu, data tersebut dapat digunakan ketika melakukan kegiatan yang mengumpulkan wajib pajak seperti dalam kegiatan edukasi atau penyuluhan perpajakan. 

Salah satu contoh adalah dengan memerinci data audit per wilayah sehingga para wajib pajak dapat memiliki gambaran mengenai kondisi di daerah mereka. Di samping itu, rasio per jenis pajak juga dapat disampaikan kepada wajib pajak ketika memberikan edukasi jenis pajak tertentu, misal ketika edukasi terkait faktur pajak, maka unit DJP dapat menyampaikan data tingkat audit atas jenis pajak yang terkait yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

DJP juga dapat berinisiatif dengan memperluas data tersebut, dari yang sebelumnya berupa data rasio pemeriksaan menjadi data rasio pengawasan wajib pajak. Dengan angka ini, DJP dapat menjelaskan kepada wajib pajak berapa banyak wajib pajak yang berada di wilayah unit DJP yang akan diawasi setiap tahun. 

Perluasan pemanfaatan model ekonomi terkait kepatuhan perpajakan melalui penyediaan data cakupan pengawasan diharapkan dapat memberikan efek yang sama dengan penyampaian data rasio pemeriksaan. Meskipun karakteristik kedua proses bisnis tidak bisa dikatakan sama, namun kegiatan pengawasan dapat dikatakan sebagai suatu proses audit sederhana yang memanfaatkan data internal dan eksternal DJP yang telah tersedia di DJP tanpa untuk dikonfirmasi oleh wajib pajak. 

Agar dapat memanfaatkan seluruh data rasio tersebut dengan lebih optimal, direktorat yang berkaitan di DJP dapat mempersiapkan semacam kamus data yang dimaksud dan memberikan petunjuk terkait pemanfaatan atau penyampaian data tersebut. Dengan adanya penjelasan terkait angka tersebut, semua unit DJP dapat memiliki standar yang sama dalam penyampaian data tersebut kepada pihak eksternal, baik sebagai bagian dari kegiatan kehumasan, penyuluhan, atau pengawasan.

Direktorat terkait juga dapat menyediakan data rasio yang lebih rinci kepada seluruh unit DJP. Jika memungkinkan, unit DJP juga perlu diberikan petunjuk untuk melakukan perluasan statistik tersebut, misal memperluas rasio cakupan pemeriksaan wajib pajak menjadi rasio per kabupaten, per jenis pajak, per jenis wajib pajak, atau sesuai kebutuhan KPP.

Dengan tersedianya data rasio cakupan pemeriksaan yang kemudian disebarluaskan kepada masyarakat, diharapkan para wajib pajak akan menjadi lebih berhati-hati dalam memenuhi kewajiban. Dengan demikian, kegiatan kehumasan yang dilakukan oleh DJP dapat semakin mendukung peningkatan kepatuhan wajib pajak yang terwujud dalam peningkatan penerimaan pajak negara kita.

 

*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Oleh: Arsy Kamilin, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/tingkatkan-kepatuhan-sodorkan-data-kepada-wajib-pajak