Tepat tiga hari setelahnya, Presiden Rusia, Vladimir Putin secara resmi memerintahkan invasi ke Ukraina oleh Angkatan Bersenjata Rusia yang sebelumnya telah terkonsentrasi di sepanjang perbatasan.

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky mengumumkan darurat militer di seluruh Ukraina. Situasi yang memanas di daratan Eropa Timur dipicu oleh kemarahan pemerintah Rusia yang merasa terancam oleh pasukan NATO yang semakin lama semakin dekat dengan perbatasan barat Rusia dan keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO.

Enam bulan telah berlalu sejak pertama kali Rusia menginvasi Ukraina. Berbagai dampak perang telah dirasakan baik yang negatif maupun positif khususnya dalam sektor keuangan dan ekonomi di seluruh dunia. Kenaikan harga bahan kebutuhan pokok dan komoditas, inflasi yang terjadi secara global, serta jatuhnya harga-harga saham yang disebabkan ketidakpastian ekonomi di seluruh dunia.

Dampaknya sangat signifikan karena kedua negara ini adalah produsen dan eksportir utama sejumlah komoditas. Rusia dan Ukraina punya peran strategis di perdagangan global. Tentu perang ini mempengaruhi supply chain yang dimiliki Rusia dan Ukraina.

Rusia adalah negara eksportir kedua terbesar untuk minyak mentah. Kemudian nomor tiga untuk ekspor batu bara, nomor satu di gandum, dan nomor tujuh dalam hal gas alam cair (LNG). Sementara Ukraina adalah eksportir seed oil terbesar dunia, jagung nomor empat, dan gandum nomor lima.

Bagi Indonesia, dampak yang terpantau adalah kenaikan harga komoditas non-migas terutama batu bara dan minyak sawit mentah/crude palm oil (CPO). Harga minyak sawit mentah mengalami kenaikan yang luar biasa dari 4400 ringgit per metrik ton pada akhir Desember 2021 dan sempat menyentuh harga 7000 ringgit per metrik ton pada bulan Maret dan April 2022. Kenaikan harga minyak sawit mentah tersebut sekitar 59 persen. Harga batu bara juga mengalami kenaikan yang signifikan sebesar 154 persen dari harga 165 dolar Amerika Serikat per ton di akhir Desember 2021 menjadi 420 dolar Amerika Serikat per ton pada bulan Mei dan Juli 2022.

Tentu di tengah naiknya inflasi dan harga bahan kebutuhan pokok yang melanda seluruh dunia, ini merupakan angin segar bagi Indonesia. Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah pemain besar dari dua komoditas tersebut, batu bara dan minyak sawit mentah. Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar ketiga di dunia sedangkan untuk minyak sawit mentah berada di posisi pertama. Kenaikan harga tersebut tentunya akan berimbas pada penerimaan negara yang didapat dari pajak atas penjualan batu bara dan minyak sawit mentah.

Total realisasi produksi batu bara selama tahun 2022 sampai dengan bulan Agustus adalah sebesar 424,88 juta ton dengan rencana produksi sampai akhir tahun sebesar 663 juta ton. Jumlah ini naik sebesar empat persen dibandingkan dengan realisasi produksi pada masa yang sama tahun 2021.

Bertambahnya jumlah produksi dan kenaikan harga komoditas inilah yang dapat mendorong penerimaan pajak melalui skema Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan juga Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) atas penjualan barang komoditas.

Sebagai contoh adalah rantai penjualan batu bara kepada pembeli. Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam hal ini pengusaha tambang dan pedagang yang melakukan penyerahan batu bara harus membuat faktur pajak sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) dan (1a) UU PPN pada saat penyerahan batu bara atau saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan batu bara.

Dalam hal penerimaan perpajakan dari PPh Pasal 22, besarnya pungutan atas pembelian batu bara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industri atau badan usaha adalah sebesar 1,5 persen dari harga pembelian tidak termasuk PPN.

Secara rinci, penerimaan pajak sepanjang Januari-Juli 2022 berasal dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) nonmigas senilai 595 triliun rupiah atau setara 79,4 persen dari target. Kemudian dari penerimaan pajak pertambahan nilai atau pajak penjualan barang mewah (PPN/PPnBM) sebesar 377,6 triliun rupiah atau 59,1 persen dari target.

Target pendapatan negara dari PPN dalam negeri tahun 2022 juga mengalami peningkatan sebesar 10 persen dibandingkan dengan tahun 2021 dari 334 triliun rupiah menjadi 369 triliun rupiah. Peningkatan target PPN sebesar 10 persen ini dikarenakan naiknya harga komoditas dan diprediksi akan berhasil terpenuhi sebelum akhir tahun 2022.

Tentunya apabila target pendapatan negara tahun 2022 khususnya untuk PPN dan PPh Pasal 22 dapat dipenuhi, maka kondisi perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan kesulitan hampir di seluruh dunia justru memberikan dampak yang positif terhadap penerimaan negara.

Pemerintah dapat menggunakannya sebagai bantalan ekonomi (shock absorber) atas kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok dengan memberikan subsidi dan dana bantuan sosial kepada masyarakat yang kurang mampu. Dengan begitu, selain mencapai pertumbuhan ekonomi yang positif, Indonesia mampu mengatasi dampak negatif atas kondisi perang tersebut, memanfaatkan efek kenaikan harga komoditas, serta mengelola keuangan negara dengan baik.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

 

 

File Artikel Terkait
Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/menilik-penerimaan-pajak-dalam-perang-ukraina-rusia