Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) FEB UB, Candra Fajri Ananda menjelaskan kebijakan harga rokok dan tarif cukai tidak selalu serta merta membuat perokok untuk berhenti merokok.
Hasil survei di 4 provinsi dengan 1.600 responden menunjukkan bahwa sekitar 95% responden akan tetap merokok meskipun harga rokok naik.
“Hasil survei tersebut semakin memperkuat argumen bahwa kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok (usia 15 tahun ke atas) karena variabel harga rokok bukanlah faktor utama yang menyebabkan seseorang memutuskan berhenti merokok,” kata Prof. Candra Fajri Ananda dalam paparan hasil kajian pada Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Kenaikan Harga Rokok terhadap Keseimbangan Prioritas Kebijakan IHT di Indonesia”, di Malang, Selasa (30/08/2022).
Menurut Prof. Candra Fajri Ananda, Pemerintah dalam hal pengendalian konsumsi dan optimalisasi penerimaan negara, masih bertumpu pada mekanisme harga, sehingga kenaikan tarif cukai dilakukan setiap tahun. Sejauh ini, data BPS telah menunjukkan bahwa untuk perokok usia dini, kebijakan tarif ini telah berhasil menekan secara signifikan penurunan prevelansi perokok usia dini sampai 3,81% di tahun 2021. Capaian ini patut diapresiasi dan sejatinya telah sesuai target RPJMN 2019-2024.
“Namun, indikator prevelansi perokok usia ≥ 15 tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan selama hampir 15 tahun sejak 2007, hal ini menjadi indikasi bahwa kebijakan kenaikan cukai untuk menekan prevalensi merokok kurang efektif,” terang dia.
Guru besar FEB UB yang akrab disapa Prof. Candra ini mengatakan, selama 10 tahun terakhir, kenaikan tarif cukai dan harga rokok terjadi secara signifikan hampir di semua golongan. Misalnya, kenaikan harga rokok jenis Sigaret Mesin (SKM & SPM) Gol.1 mengalami perubahan harga hingga 168%, Sigaret Mesin (SKM & SPM) Gol. 2 mengalami perubahan harga hingga 247%.
“Apabila dilihat berdasarkan golongan, kenaikan tarif cukai tertinggi selama hampir 10 tahun terakhir terjadi di rokok jenis Sigaret Mesin (SKM & SPM),” imbuhnya.
Hasil kajian PPKE FEB UB juga menyatakan kenaikan tarif cukai dan harga rokok dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan penurunan yang signifikan pada jumlah pabrikan rokok. Menurut Prof. Candra, kenaikan harga rokok akan menurunkan volume produksi pabrikan rokok, mulai pabrikan Gol. 1 sampai Gol. 3. Hal ini, lanjut Prof. Candra, berpotensi menurunkan penerimaan negara dan meningkatkan peredaran rokok illegal.
“Kenaikan harga rokok dan tarif cukai juga menurunkan volume produksi rokok legal dan meningkatkan peredaran rokok ilegal secara signifikan. Kenaikan tarif cukai sebesar 23% dan HJE meningkat 35% di tahun 2020 (PMK 152/2019) berdampak pada penurunan volume produksi rokok hingga minus 9,7%, dan memicu peningkatan peredaran rokok ilegal menjadi 4,8%,” terang dia.
Pertumbuhan volume produksi IHT dipengaruhi oleh permintaan terhadap produk tersebut. Berdasarkan hasil fitting test terhadap data, nilai koefisien harga rokok Gol.1 terhadap konsumsi rokok memiliki hubungan negatif yang paling tinggi di antara golongan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok dapat memberikan dampak penurunan terbesar pada Gol. 1.
Dari sisi review regulasi, pelonggaran kebijakan cukai efektif menurunkan angka peredaran rokok ilegal, menjaga keberlangsungan IHT, dan meningkatkan pertumbuhan penerimaan cukai hasil tembakau (CHT). Dalam hal ini, pemerintah dapat mempertahankan PMK 156/2018 dan regulasi lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012.
Berdasarkan hasil kajian tersebut, maka pemerintah perlu mempertimbangkan dan berhati-hati dalam pengambilan kebijakan cukai di waktu mendatang. Dalam hal ini, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai sisi yang terlibat dalam kebijakan cukai di Indonesia, diantaranya adalah tenaga kerja, pendapatan, kesehatan, rokok ilegal, industri, hingga pertanian secara berimbang dengan melakukan “rembug bersama” dengan semua pemangku kepentingan secara berkesinambungan dalam rangka menentukan Peta Jalan (Roadmap) kebijakan yang berkeadilan.
PPKE FEB UB menyatakan bahwa dalam upaya optimalisasi penerimaan negara dari cukai hasil tembakau, maka pemerintah harus meningkatkan pencegahan, pengawasan, dan penindakan untuk memerangi peredaran rokok illegal secara masif. Untuk meningkatkan penerimaan negara, pemerintah perlu segera menambah alternatif barang kena cukai kenaikan tarif cukai rokok telah mencapai titik optimum dalam mendorong penerimaan.
“Dalam upaya pengendalian konsumsi, kenaikan harga rokok bukan langkah efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok dan meng-adress penurunan angka prevalensi merokok, perlu instrument lain di luar kepentingan fiskal dan kesehatan,” jelasnya.
PPKE FEB UB juga meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan cukai, mengingat industry hasil tembakau memiliki peran strategis di dalam perekonomian yang ditunjukkan dengan kontribusinya terhadap penerimaan negara yang mencapai ±13% dari total penerimaan pajak. Data GAPRRI menunjukkan penyerapan tenaga kerja di sektor IHT sangat tinggi, terdapat sekitar 6 juta orang tenaga kerja di sepanjang rantai pasok yang terdiri dari tenaga kerja langsung di pabrik rokok sekitar 230.920 tenaga kerja, di sektor pertanian tembakau menyerap 1,7 juta petani tembakau dan petani cengkeh, serta sebanyak 2,9 juta pedagang eceran dan lini distribusi.
Posisi strategis IHT ini juga diperkuat dengan IHT sebagai salah satu industri yang asli (heritage) Indonesia yang masih bertahan dan dengan kandungan local conten yang tinggi. Namun, demikian, urgensi eksistensi IHT mendapat tantangan cukup besar dari sisi isu kesehatan, kebijakan tarif, dan peredaran rokok ilegal.
“Pertarungan antar kepentingan tersebut masih akan terus berlangsung secara berkesinambungan. Oleh karena itu, kehadiran pemerintah sebagai regulator harus mampu mempertimbangkan berbagai interest group dalam kerangka kedaulatan kepentingan nasional,” pungkasnya. *
“Fenomena tersebut juga menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok tidak akan serta merta menurunkan konsumsi rokok karena konsumen akan beralih pada jenis rokok yang lebih murah,” terangnya.
https://www.aliexpress.com/
Hasil kajian juga menyatakan kenaikan harga rokok dan tarif cukai yang eksesif bedampak pada penurunan pertumbuhan penerimaan CHT karena terjadi penurunan volume produksi akibat penurunan permintaan. Kenaikan harga rokok di golongan 1 menyebabkan terjadinya penurunan volume produksi rokok golongan 1 karena konsumen berpindah pada jenis rokok yang lebih murah (Gol.2 dan Gol.3).
“Oleh sebab itu, kenaikan tarif cukai sebesar 23% dan kenaikan HJE sebesar 35% di tahun 2020 (PMK 152/2019) menyebabkan penurunan pertumbuhan penerimaan CHT di tahun 2020. Penurunan penerimaan CHT terbesar terjadi pada rokok golongan 1,” jelas Prof. Candra.
Hasil kajian juga menunjukkan, harga rokok telah melewati titik maksimum untuk menurunkan angka prevalensi merokok. Kenaikan harga rokok hanya berdampak pada berkurangnya volume produksi rokok legal, namun tidak konsumsi secara agregat, mengingat masih adanya peredaran rokok illegal. Hasil simulasi menunjukan bahwa jika pemerintah memaksa menaikkan tarif cukai dan harga rokok melebihi batas maksimum untuk mendorong penerimaan CHT dan penurunan konsumsi rokok, maka berdampak pada penurunan jumlah pabrik rokok dan kenaikan peredaran rokok illegal.