Bendahara, sebuah kata yang sudah kita dengar sejak di bangku sekolah. Kala itu bendahara identik dengan siswa yang menarik uang kas teman-teman kelasnya, mencatatnya dalam sebuah buku, menyimpan uang tersebut, lalu mengeluarkan uang kas ketika ada keperluan.
Ketika kita memasuki dunia kerja, bendahara merupakan sosok yang membuat kita bahagia karena bendaharalah yang membuat gaji kita masuk ke rekening setiap tanggal muda. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempunyai gambaran sendiri tentang bendahara. Bendahara di mata DJP merupakan salah satu wajib pungut pajak.
Bendahara di sektor publik terdiri dari bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran. Bendahara penerimaan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara/daerah dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada kantor/satuan kerja (satker) kementerian negara/lembaga (K/L)/pemerintah daerah (pemda).
Sementara bendahara pengeluaran merupakan orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satker K/L/pemda. Bendahara pengeluaran inilah yang ditunjuk DJP sebagai wajib pungut pajak.
Konsekuensi status wajib pungut pajak ini mengharuskan bendahara untuk memotong atau memungut pajak penghasilan (PPh) dan/atau pajak pertambahan nilai (PPN) di setiap transaksi pembayaran atas beban APBN/APBD. Selain itu, bendahara wajib menyetorkan pajak yang dipotong atau dipungut tersebut ke kas negara dan melapor Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Dalam rangka menciptakan administrasi perpajakan yang lebih sederhana, mudah dan tertib bagi intansi pemerintah serta meningkatkan kepatuhan perpajakan dan pelayanan kepada instansi pemerintah, maka mulai 1 April 2020 DJP menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bendahara dan menerbitkan NPWP baru untuk seluruh instansi pemerintah.
NPWP baru tersebut dapat digunakan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, pejabat penandatangan surat perintah membayar, bendahara pengeluaran, bendahara penerimaan, dan/atau kepala urusan keuangan pemerintah desa dalam pelaksanaan hak dan kewajiban instansi pemerintah sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak.
Kewajiban pemotongan atau pemungutan pajak oleh instansi pemerintah meliputi:
1. Pemotongan PPh Pasal 21
Terhadap penghasilan yang diterima sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa dan kegiatan akan dipotong PPh Pasal 21 oleh bendahara. Jadi, gaji yang kita terima setiap bulan merupakan penghasilan bersih setelah dipotong pajak.
2. Pemotongan PPh Pasal 22
Bendahara melakukan pemotongan PPh Pasal 22 terhadap pembayaran atas pembelian barang yang nilainya lebih dari Rp2.000.000,00.
3. Pemotongan PPh Pasal 23
Dilakukan atas penghasilan yang diterima wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap selain obyek PPh Pasal 21 seperti bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena pengembalian utang; royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; hadiah, penghargaan, bonus; dan dividen.
4. Pemotongan PPh pasal 4 ayat (2)
Dikenai atas penghasilan dari jasa dan sumber tertentu seperti jasa konstruksi, hadiah undian, penghalihan hak katas tanah atau bangunan, jasa sewa tanah atau bangunan kecuali jasa pelayanan penginapan serta akomodasinya, pembelian barang atau penggunaan jasa dari wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
5. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Pemungutan PPN dan/atau PPnBM dilakukan atas transaksi barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP) yang nilainya lebih dari Rp2.000.000,00.
6. Bea meterai
Bea meterai dibayarkan sehubungan dengan pemanfaatan dokumen seperti kontrak, kuitansi, sesuai dengan objek bea meterai.
DJP menggandeng Direktorat Jenderal Perimbangan dan Keuangan (DJPK) untuk mendorong kepatuhan pemotongan dan pemungutan pajak oleh bendahara. Kepatuhan pemotongan dan pemungutan pajak oleh bendahara Pemda diawasi dengan mekanisme rekonsiliasi yang melibatkan Pemda, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Terhadap Pemda yang tidak patuh, KPP berwenang untuk tidak menandatangani Berita Acara Rekonsiliasi (BAR) yang mengakibatkan DJPK akan menunda pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) Pemda tersebut.
Maka, bendahara berperan penting dalam mengumpulkan penerimaan negara (pajak) dan menjadi kunci kelancaran pencairan DBH Pemda. Selain itu bendahara merupakan kunci yang mempengaruhi kapan Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Polisi Republik Indonesia (POLRI), pejabat negara, dan pensiunannya melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadi.
Hal tersebut karena bendaharalah yang menerbitkan bukti potong 1721-A2, sebuah dokumen yang wajib dimiliki dan menjadi dasar bagi ASN, anggota TNI, anggota POLRI , pejabat negara, serta pensiunannya untuk melapor SPT Tahunan Orang Pribadi. Sebelum bukti potong 1721-A2 ditangan, wajib pajak orang pribadi tersebut tidak bisa melapor SPT Tahunan Orang Pribadi yang jatuh tempo pada 31 Maret.
Belanja pemerintah pusat yang dialokasikan dalam APBN 2022 sebesar Rp1.943,74 triliun. Bendahara sebagai wajib pungut pajak memegang peranan penting untuk memungut dan memotong pajak dari transaksi belanja tersebut. DJP giat memonitor dan mengevaluasi peran bendahara sebagai bagian upaya DJP dalam mengamankan penerimaan pajak.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Oleh: Aprilia Abriani Puspitoaji, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/wajib-pungut-pajak-itu-bernama-bendahara