“We all know what to do, but we don’t know how to get re-elected once we have done it,” kata Jean-Claude Juncker, mantan Presiden Komisi Eropa.
Ungkapan tersebut menggambarkan dilema yang dihadapi oleh para pengambil kebijakan. Sering kali, pemerintah urung mengambil suatu kebijakan untuk kebaikan negara karena tidak populer di mata publik. Tampaknya pengambil kebijakan di Indonesia mengalami dilema yang sama saat ini.
Kebijakan luar biasa untuk menghadapi pandemi menyebabkan penyimpangan dari rambu-rambu pengelolaan fiskal yang selama ini dipegang teguh. Salah satunya defisit yang melebar melebihi ambang batas 3% sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara. Kebijakan tersebut bertujuan untuk untuk mencegah resesi ekonomi yang berkepanjangan serta membantu pemulihan ekonomi. Pemerintah harus menggelontorkan berbagai stimulus yang dibiayai oleh utang mengingat penerimaan pajak menurun drastis.
Jika tidak segera mengurangi stimulus, defisit fiskal akan terus berada di atas batas yang aman sehingga memicu kerentanan pada sistem keuangan. Karena itu, konsolidasi fiskal harus mulai dijalankan. Konsolidasi fiskal dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pemangkasan belanja dan kenaikan tarif pajak.
Di sinilah letak dilema tersebut. Di satu sisi, konsolidasi fiskal akan membantu penyehatan kondisi fiskal negara. Namun, di sisi lain, kebijakan memangkas belanja dan menaikkan pajak akan menambah beban bagi masyarakat sehingga berpotensi memantik penolakan publik. Selain itu, konsolidasi yang terlalu cepat dan dipaksakan akan menghambat pemulihan ekonomi, sementara konsolidasi yang terlalu lambat akan berdampak pada hilangnya kepercayaan investor sehingga memicu instabilitas di pasar keuangan (de Mooij & Keen, 2012).
Tampaknya, pemerintah tidak akan menunda konsolidasi fiskal ini. DPR bersama Kementerian Keuangan telah menyepakati target defisit APBN tahun 2023 sebesar 2,85% dari PDB (Kompas, 2022). Target pendapatan negara pada 2023 sebesar Rp2.510 triliun atau tumbuh sebesar 10,77% dibandingkan proyeksi pendapatan negara tahun ini yang mencapai Rp2.266 triliun.
Penerimaan pajak masih menjadi andalan dengan proyeksi sebesar Rp1.967 triliun, setara 78,8% dari total pendapatan negara pada 2023. Ekspansi pemerintah masih akan tetap berlanjut meskipun sedikit melambat. Proyeksi belanja pemerintah pada 2023 mencapai Rp2.993 triliun atau hanya turun 3,6% dari proyeksi nilai belanja tahun ini yang mencapai Rp3.106 triliun.
Kebijakan pemangkasan belanja yang terbatas dan diiringi dengan kenaikan pajak sejalan dengan Jacques dan Haffert (2020) yang menyatakan bahwa pemangkasan belanja pemerintah cenderung mendapatkan penolakan secara politis, terutama saat resesi ekonomi, sedangkan kenaikan pajak hanya berdampak minimal. Artinya, konsolidasi fiskal lebih dapat diterima melalui kenaikan tarif pajak dibanding pemangkasan belanja. Belanja pemerintah saat ini masih dibutuhkan untuk menjaga kepercayaan sektor swasta agar mau membelanjakan uangnya dan menambah investasi guna menjaga tren pemulihan ekonomi.
Mengawal Implementasi UU HPP
Salah satu strategi agar konsolidasi fiskal berhasil adalah optimalisasi penerimaan pajak yang dapat diukur dengan rasio pajak. Rasio pajak Indonesia (dalam arti luas) saat ini masih sangat rendah, yaitu hanya 9,11% pada 2021 dan ditargetkan menjadi 10,97% pada 2022. Padahal, agar suatu negara memiliki keleluasaan untuk menjalankan program pembangunan, IMF mematok standar rasio pajak sebesar 15%. Artinya, ketika rasio pajak berhasil didongkrak, pemerintah akan memiliki sumber dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan belanja tanpa harus menambah utang sehingga defisit anggaran dapat kembali ke level yang aman. Kunci keberhasilan mendongkrak rasio pajak terletak pada implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Secara garis besar, UU HPP mengatur kebijakan strategis yang mencakup: (1) UU KUP, (2) UU PPh, (3) UU PPN, (4) program pengungkapan sukarela, (5) pajak karbon, dan (6) cukai. Namun, tulisan ini mencoba membahas UU HPP dari bingkai perspektif pemajakan yang sejalan dengan model devaluasi fiskal Pestel dan Sommer (2016), yaitu pergeseran perspektif pemajakan dari berbasis penghasilan menjadi konsumsi. Pemerintah memang menaikkan tarif PPN, yaitu dari 10% menjadi 11% mulai tahun ini, tetapi tetap memberikan berbagai insentif bagi pajak penghasilan dan modal.
Di Indonesia, pergeseran ini sebenarnya telah dimulai sejak beberapa tahun silam di mana pemerintah memangkas beban pajak penghasilan dan modal, seperti penurunan tarif PPh final bagi UMKM pada 2018 dari 1% menjadi 0,5%, penurunan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 22% dan dapat turun lagi sebesar 3% jika memenuhi syarat kepemilikan publik, serta fasilitas pajak bagi investasi, sebut saja tax holiday, tax allowance, dan superdeduction tax. UU HPP hadir mengafirmasi pergeseran tersebut, seperti melalui kenaikan ambang batas pada tax bracket terendah dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta serta pembebasan pengenaan pajak penghasilan bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta setahun.
Sayangnya, masyarakat selalu mendapat suguhan berita kenaikan PPN yang dianggap menambah penderitaan masyarakat. Padahal, ada sisi lain dari kenaikan ini. Pertama, kenaikan tersebut diharapkan mampu mengompensasi penerimaan pajak yang hilang akibat berbagai insentif pajak yang diberikan. Kedua, kenaikan tarif PPN akan menjadi disinsentif bagi konsumsi. Dalam jangka panjang, pelaku ekonomi diharapkan lebih terdorong untuk berproduksi sehingga Indonesia mampu menjadi negara produsen, bukan sekadar negara konsumen. Dengan rezim perpajakan yang ramah dan kondusif bagi penghasilan dan modal, produktivitas tenaga kerja dan investasi di sektor-sektor fundamental akan meningkat.
Insentif pajak juga akan memberikan tax savings bagi korporasi dan rumah tangga yang dapat digunakan untuk menambah konsumsi atau meningkatkan tabungan. Namun, skenario yang lebih rasional adalah tax savings dipakai untuk meningkatkan tabungan mengingat masyarakat menghadapi harga barang yang lebih mahal akibat kenaikan tarif PPN. Jika skenario tersebut terjadi, tax savings akan mengalir ke tabungan masyarakat.
Kenaikan tabungan masyarakat akan berimplikasi pada dua hal. Pertama, tingkat tabungan nasional akan meningkat sehingga diharapkan mampu memenuhi kebutuhan investasi. Selama ini, tabungan nasional tidak cukup untuk membiayai investasi di Indonesia sehingga harus bergantung pada aliran modal asing. Kedua, peningkatan tabungan masyarakat akan memberikan sumber dana yang lebih melimpah dan menekan biaya pinjaman rata-rata (lending rate) yang saat ini masih tinggi dibandingkan negara lain, yaitu 9-10%.
UU HPP didesain secara komprehensif tidak hanya untuk meningkatkan penerimaan pajak guna menopang proses pemulihan dalam jangka pendek, tetapi juga untuk mempercepat transformasi ekonomi dan reformasi perpajakan agar proses pemulihan dapat berlanjut menjadi pertumbuhan yang kuat dan berkesinambungan. Konsolidasi fiskal hanya dapat berhasil jika pengetatan anggaran dilakukan secara bertahap dan mampu dikompensasi oleh penerimaan pajak yang optimal. Kinerja pajak yang optimal adalah salah satu syarat agar Indonesia mampu berdikari secara ekonomi. Besar harapan kita agar UU HPP menjadi panasea bagi kinerja perpajakan yang belum optimal.
Oleh: Mhd. Ricky Karunia Lubis, Juara 3 Lomba Menulis Artikel Hari Pajak 2022
Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/konsolidasi-fiskal-dan-implementasi-uu-hpp