Rencana penerapan Alternative Minimum Tax (AMT) pada Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) kini telah dihapuskan dalam ratifikasinya menjadi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Permasalahan teknis, pertumbuhan iklim investasi, dan distorsi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi alasan utama pemerintah dalam menghapus usulan penerapan AMT. Pengenaan AMT pada perusahaan yang sedang merugi dapat mendistorsi aktivitas ekonomi mereka. Hal ini pada dasarnya karena AMT akan dikenakan dengan dasaran minimum 1% dari penghasilan bruto sebagaiamana disebutkan dalam RUU KUP. Meskipun telah dihapus, tidak menutup kemungkinan AMT akan diterapkan di masa mendatang saat pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.
Galle (2011) menyebut bahwa AMT dapat menjadi automatic state-revenue stabilizer di saat krisis ekonomi karena dapat memajaki perusahaan-perusahaan yang terkena dampak pandemi yang pendapatannya cenderung menurun dan mengalami kerugian secara fiskal. Kerugian tersebut tentunya memiliki dampak yang cukup serius karena secara fiskal perusahaan tersebut tidak dikenakan pajak, bahkan dapat dikompensasikan ke tahun fiskal berikutnya, sehingga negara tidak mendapatkan penerimaan.
Hingga Mei 2022 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia telah mengalami surplus sebesar Rp132,2 triliun (Kemenkeu,2022). Meskipun demikian, pertumbuhan perusahaan yang mengalami kerugian secara fiskal mengalami tren kenaikan dalam beberapa tahun terakhir.
Grafik 1. Jumlah Perusahaan yang Mengalami Kerugian pada Tahun 2012-2019
Mempertimbangkan data tren peningkatan jumlah perusahaan yang mengalami kerugian secara fiskal, Indonesia tetap perlu menjaga basis pajaknya di masa mendatang meskipun APBN mengalami surplus. Menurut United Nation (2013), kerugian secara terus-menerus mencerminkan terdapat kompensasi yang tidak adil antar perusahaan di dalam grup perusahaan dan mengindikasikan adanya praktik pengalihan laba. Oleh karena itu, penerapan AMT dinilai pemerintah dapat menambah penerimaan karena Wajib Pajak Badan yang rugi secara fiskal akan tetap membayar pajak, sehingga AMT dapat menjadi safeguard bagi penerimaan negara.
Menurut IMF (2014), AMT dapat menjadi solusi fundamental untuk mengatasi tergerusnya basis penerimaan pajak di samping usaha penguatan sistem perpajakan dunia (worldwide tax system), pembagian formula, dan penggunaan bagi hasil. AMT dinilai dapat menjadi solusi perlindungan basis pajak, khususnya di negara berkembang. Hal tersebut dikarenakan penggunaan dasar pengenaan pajak alternatif (alternative tax base) lebih sulit dimanipulasi atas perencanaan pajak yang agresif. Meskipun demikian, penerapan alternative tax base dalam AMT sejatinya perlu diikuti dengan kebijakan pajak pendukung lainnya guna memastikan basis pajak AMT yang presisi dan sulit dimanipulasi.
.
Kebijakan Pajak Pendukung AMT: Penguatan Big Datadalam Pemeriksaan Pajak
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) seyogianya harus memastikan pengenaan pajak pada Wajib Pajak Badan yang benar-benar mengalami kerugian. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan potensi AMT perlu didukung dengan kebijakan pajak lainnya. Pemenuhan aspek equity dan ability-to-pay sangat krusial dalam menentukan basis pajak bagi perusahaan yang melaporkan kerugian. Tampaknya untuk memastikan basis pajak ini, pemeriksaan pajak akan menjadi ujung tombak bagi DJP untuk memastikan pemenuhan aspek equity dan ability to pay dari perusahaan yang merugi.
Namun demikian, pemeriksaan pajak tentu akan membawa konsekuensi seperti timbulnya cost baik dari sisi wajib pajak maupun DJP. Salah satu usulan yang dapat diambil untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah dengan integrasi big data pada pemeriksaan pajak. Penerapan big data akan memperkuat analisis informasi pendukung yang tidak disajikan dalam SPT.
Permintaan akses data dari tahun ke tahun telah menjadi kebutuhan yang terus meningkat bagi DJP. Pada tahun 1983 data akses dibutuhkan untuk pemeriksaan pajak. Tahun 1994 akses data diperuntukkan bagi pemeriksaan pajak dan investigasi, sedangkan data dari bank harus diminta melalui permintaan dari Menteri Keuangan. Tahun 2007, akses data diperuntukkan bagi pemeriksaan data untuk bukti pemeriksaan, investigasi, dan pemungutan pajak. Selain itu di tahun 2007, untuk permintaan akses data dari Bank Indonesia diperlukan permintaan langsung dari Menteri Keuangan dan meminta dari institusi publik lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan kepatuhan pajak.
Di sisi lain, pengalaman di seluruh dunia menunjukkan bahwa banyak otoritas pajak telah menggunakan beberapa bentuk big data analytic untuk mengambil sampel data wajib pajak dengan cepat dan efektif, mengembangkan profil risiko, dan menandai potensi masalah pemeriksaan pajak. Sebuah survei baru-baru ini menemukan bahwa 19 dari 22 negara yang disurvei di seluruh Amerika, Asia Pasifik, Timur Tengah dan Afrika menggunakan alat ini sebagai bagian dari tinjauan dan pemeriksaan mereka terhadap Wajib Pajak Badan (Gillis et al,2015).
Bagi banyak negara, peningkatan kepatuhan pajak dan pengumpulan pendapatan yang memadai telah menjadi kebutuhan untuk membiayai keuangan negara. Itulah sebabnya administrasi pajak melakukan transformasi digital dan otomatisasi sistem mereka. Adopsi teknologi dapat memungkinkan reformasi pajak yang sukses dan berkelanjutan, memastikan perpajakan yang tepat, dan mengurangi hambatan kepatuhan. Pandemi Covid-19 yang menyebabkan booming–nya penggunaan perdagangan digital, membuat perubahan ini sangat mendesak bagi administrasi perpajakan.
Pengalaman beberapa negara dunia yang telah menerapkan AMT bersamaan integrasi big data pemeriksaan pajak memiliki dampak yang positif. Salah satunya penelitian di Korea Selatan misalnya. Penggunaan big data dalam pemeriksaan pajak di Korea Selatan telah mengurangi compliance cost sebanyak 19% pada periode 2011—2016 (World Bank,2021). Pembenahan administrasi pajak di Korea Selatan ini memiliki relevansi dengan pembenahan pasca krisis ekonomi yang dialami dunia pada tahun 2008 hingga 2010. Bersamaan dengan itu, Korea Selatan juga menerapkan AMT. Dengan kombinasi penerapan AMT dan big data pemeriksaan pajak, iklim investasi tetap tumbuh signifikan di Korea Selatan karena basis pajak dan administrasinya dirancang dengan akurat. Bahkan, penerapan AMT dan pembenahan administrasi pemeriksaan pajak di Korea Selatan ini telah berhasil mendukung peningkatan tax-to-gdp ratio di Korea Selatan sebesar 20,8% dalam jangka waktu tahun 2000 hingga 2020 (OECD,2020).
Berangkat dari hal tersebut, penguatan basis pajak dan pembenahan sistem administrasi diharapkan dapat menjaga stabilitas penerimaan negara, khususnya untuk Indonesia. Pengalaman negara lain yang menggunakan kebijakan pendukung di samping AMT justru dapat meningkatkan roda ekonomi, iklim investasi, dan tax-to-gdp ratio mereka. Pada akhirnya, AMT memiliki potensi yang besar sebagai state-revenue stabilizer dan menjadi safeguard penerimaan negara sehingga dapat menjadi kebijakan fiskal countercylical di masa pascapandemi Covid-19, di samping tetap perlu memaksimalkan kebijakan fiskal pendukung. Urgensi penerapan big data dalam pemeriksaan pajak guna mendukung kebijakan AMT sangat diperlukan untuk memastikan aspek equity dan ability to pay dari perusahaan yang merugi, sehingga pada akhirnya pembenahan basis pajak oleh DJP melalui AMT juga diikuti dengan kepatuhan oleh Wajib Pajak Badan.
oleh Edwin Aqil Faiq, Juara 2 Lomba Menulis Artikel Hari Pajak 2022
Sumber : https://pajak.go.id/id/artikel/alternative-minimum-tax-dan-penguatan-big-data-pemeriksaan-pajak-sebagai-kebijakan-fiskal